Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2024

Tangan, kaki, dan Tali

 Aku masih bisa berdansa. Meskipun, tanganku terikat oleh tali-tali itu. Aku masih bisa berdansa. Meskipun kakiku terikat oleh tali-tali itu. Aku masih bisa berdansa. Apalagi bersama kamu. "Kamu tidak akan bisa berdansa. Dansa perlu menggerakan badan tangan, dan kaki tentu sangat dibutuhkan." Katanya, melihat tangan dan kakiku yang masih terbelenggu tali-tali itu. Dia pergi meninggalkanku. Aku tidak bisa berdansa. Meskipun, tanganku tidak terikat oleh tali-tali itu. Aku tidak bisa berdansa. Meskipun kakiku tidak terikat oleh tali-tali itu. Aku tidak ingin berdansa. Meskipun, bersama kamu "Gerakanmu sangat hebat. Mengapa kamu tak lagi mengajakku berdansa denganmu?" Ia menyerahkan tangannya dengan tulus. Maka dengan segera kuraih tangannya. "Aku tidak bisa dansa. Itu namanya joget. Tapi kamu suka kan?" Ia dalam dekapanku.

Kata Matahari

 Matahari itu menyengat. Panasnya menyiksa sampai ke ubun-ubun.  Namun, pada suatu rumah panasnya terhenti. Tepat di atas rumahmu. Matahari itu berubah murung. Ia mutung, karena tidak sanggup memberikan hangatnya yang berlebihan itu pada suatu bagian. "Kamu pemilik rumah itu. Apa yang sedang terjadi padamu dan kekasihmu. Sampai sedingin itu hatimu." Kata Matahari padamu.

Yang Akan Selalu Abadi

 Kala terakhir kali melihatmu Aku tak ingin mengedipkan mataku Karena dalam kedipan itu, aku tidak ingin kehilangan milidetik yang terlewati untuk memandangmu. Mataku mengikuti kemana kamu berjalan sampai tak terlihat lagi. Aku akan menyimpannya selalu dalam bentuk tulisan, yang akan selalu abadi. Mana berani aku menyapamu Mana berani aku mengatakan, "Aku suka kamu, suka segalanya dari kamu. garis wajahmu, bibir tipismu, mata lembutmu, indah dagumu. Lebih-lebih aku suka bercanda bersamamu." Semuanya lebih mudah dalam tulisan tapi sulit untuk mengatakan, yang akan selalu abadi.

Sebuah Buntalan untukmu

 "Apa ini?" Tanyanya bingung, ketika aku memberikan hadiah sebuah buntalan terbungkus kain kepadanya. Ia hendak membuka buntalan itu. "Jangan kamu buka!" Cegahku. Celaka, ia sama sekali tak menurutiku. Ia tetap membukanya. Dalam buntalan itu terdapat buntalan lagi di dalamnya. Rasa penasaran yang muncul darinya, menjadikannya lebih cekatan. Ia membuka buntalan dalam buntalan itu, yang ternyata isinya tetap saja buntalan. Rasa penasarannya berubah menjadi kemarahan karena ia merasa dipermainkan. "Sudah aku bilang. Jangan kamu buka!" Jeda ketika aku mengatakannya, ia lanjutkan lagi membuka buntalan itu. Dari pagi sampai malam. Dari kemarau sampai penghujan. Dari usia yang masih muda sampai ia begitu renta. Ia tak pernah lelah atau melewatkan sehari saja untuk tidak membuka buntalan itu. Celakanya, setiap buntalan itu semakin mengecil di malam hari. Ketika pagi tiba-tiba saja buntalan itu kembali membesar. Ia tak akan pernah berhasil membukanya. Rambutnya kin

Yang Terjadi Ketika Mendengarkan

 Kita seringkali sebal dengan orang yang banyak omong. Tapi, apakah pendengar yang baik merasa sebal terhadap orang yang banyak omong? Jangan pernah meremehkan teman kita yang pendiam ketika sedang berkumpul, karena bukan hal yang mustahil jika mereka menjadi tahu banyak hal. Mereka yang mendengarkan banyak mempelajari, mereka yang berbicara banyak berbagi. Ketika sedang mendengarkan tentunya kita akan menyerap banyak informasi daripada ketika kita berbicara. Itulah mengapa mendengarkan begitu sangat penting. Menjadi pendengar yang menyerap banyak informasi juga dapat memiliki efek bumerang. Acap kali teman yang sedang berbicara membagikan informasi yang itu-itu saja dan cenderung monoton. Disitulah kita sebaiknya menggunakan kesempatan kita untuk berbicara. Menggring kesebuah diskusi baru untuk isu-isu terkini yang bisa diperbincangkan ala tongkrongkan. Menjadi pendengar juga menjadikan kita orang yang cukup penting. Karena dengan adanya pendengar, pembicara akan merasa dihargai. Pemb

Tanpa Kopi

 Persediaan kopi saya telah habis. Kopi yang biasa saya beli letaknya jauh dari rumah saya, sekitar 40km lebih dari rumah atau satu setengah jam perjalanan. Ini membuat saya kerap urung dan ragu-ragu untuk membeli kopi lagi. Pada saat kehabisan kopi inilah saya merasa berjalan begitu lambat. Otak saya merindukan zat-zat yang tidak saya mengerti dari kopi. Tak jarang saya menyadari hal itu secara nyata. Waktu saya rutin meminum kopi, saya bisa berpikir dengan cepat. Malah sangat cepat. Tanpa bantuan kopi sepertinya skripsi saya akan lebih lambat. Tanpa bantuan kopi tulisan-tulisan saya memiliki banyak jeda dan saya merasa kehabisan energi. Begini, saya selalu meminum kopi yang saya letakkan pada meja saya. Ketika saya menulis saya akan meminum kopi, bahkan membaca buku yang cukup berat dalam artian buku-buku nonfiksi saya meminum kopi. Manfaatnya setelah meminum kopi. Tulisan saya jadi lancar. Beberapa tabungan kata yang ada diotak saya dapat keluar dengan lebih mudah. Contohnya, ketika

Apa yang Telah dan Apa yang Sudah

 Jangan mengirimi aku pesan seperti sedang menghujani anak panah. Karena aku tidak akan bisa menahannya Anak panah yang kamu lepaskan itu melesat terlalu kencang. Padahal, ingin sekali aku menangkapnya untuk mengerti apa maksudmu. Tapi apa yang telah, tidak akan bisa ditarik kembali. Apa yang sudah, tidak akan menjadi yang belum. Anak panah yang kamu lepaskan dan tak bisa aku dapatkan itu melesat menembus tepat pada jantungku. Jantung yang lemah itu kemudian berdetak untuk terakhir kalinya. Kamu menangis, aku tidak mampu menghiburmu agar tidak menangis. Maka dengan ratapanmu, kamu mengatakan "Aku tidak ingin kamu mati!" Kamu masih sedu sedan. Aku sudah tak bernyawa lagi. "Aku ingin kamu, aku ingin dimengerti oleh kamu, aku ingin dicintai oleh kamu!" Aku telah mati, dan tetap mati.

Puisi di Tepi Pantai

 Satu hal yang aku ingin, kalau saja kamu masih di kota ini Aku ingin mengajakmu ke pantai melihat debur ombak, merasakan angin yang terasa asin, menikmati es kelapa muda. Satu untuk bedua. Aku ingin duduk di batang pohon yang sengaja dirobohkan entah oleh siapa, yang jelas batang itu nyaman untuk kita duduki. Maka disaat kita duduk itulah, aku akan membacakanmu sebuah puisi. Puisi yang hangat, baru tercipta, dan kamu adalah pendengar pertamanya. Puisi itu berisi, bagaimana bahagianya aku, bisa bersamamu. Bagaimana senangnya aku, bisa mengenalmu. Bagaimana tak terpikirkan olehku, bisa bersenda gurau denganmu. Ah, sudah. Puisiku biasa-biasa saja. Namun isinya tentang orang yang luar biasa, begitu aku kagumi.

Sedang Bundu dalam Menulis Fiksi

 Lagi banyak bersinggungan sama hal-hal yang nonfiksi, mau nulis fiksi jadi susah banget. Beberapa hari terakhir saya banyak menggunakan waktu untuk menonton YouTube kelas-kelas filsafat gitu. Salah satu kanal YouTube yang bisa juga teman-teman lihat Pustaka Matahari. Bagus-bagus banget materi yang disajikan di situ. Berasa ikut kuliah dan kembali merasakan suasana perkuliahan. Lalu, juga lagi baca buku nonfiksi Jerusalem yang ditulis Simon Sebag Montefiore. Buku itu banyak dibicarakan juga lahir dibeli, jadi mungkin teman-teman tahu. Buku Jerusalem yang covernya tebal itu. Saya belum selesai membaca itu juga. Jujur, saya menjadi sangat senang dengan baca-baca nonfiksi gitu. Banyak hal yang informasinya langsung dipaparkan dan menarik. Tapi, entah kenapa, saya merasa jadi kurang tajam buat menulis fiksi yang panjang. Seperti yang sudah terpublikasi pada blog ini. Beberapa post terakhir saya menulis puisi. Saya suka menulisnya. Tapi saya juga sedang ingin menulis cerpen, yang nahasnya,

Momoar Pertikaian

 Dia memukulku, tepat pada bagian kepala, tengkorak, sampai menembus ke dalam otak. Maka aku langsung tak sadarkan diri. Rasanya seperti terbius. Dalam gelap tak sadarkan diri itu Aku masih bisa mengingat-ingat Sebelum dipukul olehnya, aku manusuk dada, lalu ku gores sampai ke perutnya. Tiba-tiba rasanya sakit tak tertahankan Aku merasa, mungkin saja sebentar lagi aku akan tersadarkan. Karena sakitnya bukan main. Tapi ternyata, itulah mati. Maka saat nyawaku melayang dari tubuh Aku melihat seonggok tubuhku, dan tubuhnya yang berlumurkan darah. Tubuhku masuk tong sampah. Sedangkan di sana, tubuhnya yang berdarah, dijilati oleh anjing-anjing kudisan. Dan kami, merasa sangat begitu hina.

Dalam Dadamu

 Kamu tidak akan bisa menciumnya Meskipun ia bisa merasakan segala ruas-ruas bibirmu yang manis itu. Ia akan mengusap bibirmu. Meskipun kamu ingin sekali membalasnya. Begitu dekatnya, namun kamu tidak bisa mendekapnya. Maka ia yang melakukannya. Memasuki dan memenuhi rongga dadamu Berdiam di dalamnya sampai kamu sendiri pun tidak tahu kapan. Ia akan pergi, karena kamu akan merindukannya. Ia tidak akan dapat dilihat oleh mata yang seperti matamu. Ia benar-benar bening. Maka mata yang telah keruh tak pernah pantas untuk menikmati betapa tak terhingganya ia. Pendosa bisa bisa dapat memudarkan kebeningannya yang afwah.

Buku Pertama yang Saya Beli

 Kenapa buku pertama yang kita beli akan selalu berkesan? Buku pertama yang saya beli adalah, "koala kumal". Saya belum pernah sama sekali membeli novel, komik, atau apapun itu yang berupa bacaan sampai buku Koala Kumal dari Raditya Dika itu diterbitkan. Ketertarikan saya terhadap dunia buku sangat-sangat terlambat. Koala Kumal diterbitkan pada tahun 2016, saya sudah berumur 15 tahun ketika buku tersebut terpajang di toko buku dalam mall. Mula-mula saya tidak pernah tertarik untuk membelinya, tapi karena waktu itu saya dan teman saya ingin menonton film dengan judul yang sama Koala Kumal sudah habis tiketnya. Saya yang penasaran dengan karya Raditya Dika memutuskan untuk (pertama kali) membeli buku. Jadi hanya karena itu? Tentu tidak. Jika ditarik kembali ke belakang. Terjadi suatu permicu yang mempengaruhi keseluruhan hidup saya, setidaknya sampai pada waktu saya menulis ini. Singkat cerita, waktu itu saya mempunyai teman perempuan di mana dia punya banyak buku. Ketika saya

Sisa Doa dari Perpisahan

 Dalam duniamu aku tidak ada lagi diantara keluh kesah dan senda gurau. Aku tak akan dirindukan, entah sampai kapan. Dalam duniamu serba tak ku tahu.

Bunga ini Milikmu?

 "Kamu ingat ketika pertama kali kita kenal?" Di depan teras rumah kamu duduk, menikmati malam atau menunggu siapa aku tak tahu. Lalu  aku menyapamu. Sok kenal tentu saja, aku bilang, "aku tadi menemukan bunga, apa ini milikmu?" Kamu mempersilahkanku masuk. Dari halaman aku menyambagi teras. Kita duduk berdua, bercerita, bercanda. Lalu kamu bilang, "mana ada menemukan bunga di jalan. Bunga itu millikmu, kamu mau memberikannya untukku, bukan?" Sungguh, kamu membacaku seperti buku Aku hanya ingin kamu menikmati apa yang tertulis. Mengetahuiku seperti buku akan membosankan. Sebab, bagaimana kisah tergantung pada setiap kata yang tersisa.

Gapai Tangan Langkah Kaki

 Apakah aku telah mati? Bagimana tanganku bergerak tak sesuai dengan apa yang terhendak. Hingga tanganku bilang kepadaku, "gapailah sesuatu, entah apapun itu sebelum mati menemui kita!" Apakah aku telah mati? Bagaimana kakiku melangkah tak sama dengan jalan yang sudah terbentang. Hingga kakiku bilang kepadaku, "melangkahlah yang benar apapun sebelum lumpuh menjumpai kita!" Apakah aku telah mati? Apakah aku bisa dibangkitkan kembali? Aku ingin kembali hidup bersama dengan kaki, tangan, serta isi kepala yang kebingungan dengan kemauannya sendiri

Langsung Saja, Serba Cepat

 Ketika semua hal berubah menjadi begitu cepat. Saya bisa mendapatkan banyak hal dengan instan. Tapi, ketika semua hal berubah menjadi terlalu cepat. Saya tidak bisa membuat batinku lebih halus dan tajam. Ibarat sebilah pisau, saya menjadi pisau yang gampang tumpul karena tidak diasah dengan hati-hati. Hal ini saya rasakan terutama ketika sedang membaca buku. Saya seringkali menjadi reading slump. Tiba-tiba kurang menikmati bacaan apalagi buku tersebut memiliki alur yang cukup lambat. Untuk buku-buku nonfiksi, saya merasa banyak informasi didapatkan tanpa harus membaca buku. Buruk. Sangat buruk. Saya tidak mengerti kenapa bisa berubah menjadi serba cepat dan gampang membosankan seperti ini. Karena, beberapa kali saya menonton video  panjang di youtube, dengan sengaja saya mengubah kecepatan menjadi 1.25 atau bahkan 1.5. Hal buruk yang saya sadari adalah, informasi tersebut memang masuk ke dalam otak. Saya memahami konteks yang dibicarakan oleh content creator youtube tersebut meskipun

Di Bawah Pohon Itu

 Kalau saja waktu kita lebih lama lagi Aku ingin kamu tetap di sini Bersama angin, ilalang, dan pohon yang tak pernah mati. Kalau saja kita diberi waktu yang lebih Aku ingin mengatakannya padamu Bahwa aku tak bisa memisahkanmu dari bunga yang wangi. Kalau saja lebih lama lagi kita bersama Apakah kamu tetap seperti ini? Betah menahan isak, demi kita bertahan di bawah pohon yang tak kunjung mati