Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2024

Ia yang Telah Mati

 Laki-laki bodoh mana yang menyimpan kenangannya dalam kulkas? Aku sudah tak cocok dengannya kesukaannya pada sastra membuatnya berubah Aku bukan lagi aku baginya. Sudah gila. Laki-laki goblok mana yang ketika patah hatinya masih menyanyakan pada kekasihnya, "haruskah aku berhenti mencintaimu?" Malas aku membalasnya. Duniamu ini yang mana dalam buku itu atau di sini bersamaku? * Laki-laki itu memang tolol, sudah tak tertolong Ia telah mati. Berita menyebutkan ia mati karena hipotermia. Dengan sengaja ia masuk ke dalam kulkas, duduk bersama sayur, buah, ikan, botol susu, chardonnay, dan kenangan.

Kenangan dalam Kulkas

 "Haruskah aku berhenti menyukaimu?" Kamu diam, di ujung sana seperti biasa karena kita hanya bertukar melalui pesan Pertanyaan itu tak seharusnya aku katakan langsung padamu tapi aku tidak tahu harus bagaimana "Kamu boleh menyimpan kenangan itu, tapi jangan kamu di taruh meja kecil sudut kamarmu." Kamu akhirnya membalas pesanku. Menyisahkan bingung. Lalu harus aku simpan di mana? * Aku menurutimu, aku tidak menyimpan kenangan itu di sudut kamarku. Terlalu gelap di sana. Lalu aku pergi ke dapur, sambil membuka kulkas. Nyala lampu ada di sana. Pikirku, "Bukankah kulkas juga tempat untuk menyimpan?"

Tanpa Kata

 Sampai di stasiun kereta sore itu bersama oleh-oleh yang sengaja kita bawa aku dan kamu, menyayangi anak kita aku dan kamu, merindukan cucu kita Tanpa kata kita turun, menunggu jemputan Tanpa kata kita turun, memang sudah begitu dari dulu kita jarang menyatakan cinta bahkan sampai cara jalan kita terbata-bata tak pernah kita mengatakannya, kita hanya membuktikannya Gusar aku menunggu. Sampai berapa lama aku tak tahu. Kita tidak mengerti teknologi, tak tahu cara menggunakan handphone. Tapi, sebentar lagi pasti anak kita sampai. Akan kau peluk dia? Tidak. Bukan begitu cara kita menyatakan cinta Karena yang bisa kita bayangkan dan angankan. Begitu mereka datang, kita akan menggendong cucu kita dengan segera.

Kesopanan dan Kejujuran

 Jika kita tengah berperilaku sopan, ada setitik kejujuran yang terabaikan. Jika kita tengah berperilaku jujur, katanya agak kurang sopan. Keduanya hal baik yang sangat susah untuk dilakukan secara bersamaan. Kita bisa bilang ke orang, "wah dia baik banget!" Tapi dalam hati kita bilang, "dia baik, tapi engga sebaik itu juga sih." Kita juga bisa bilang, "gila! Jagad dekil banget!" hal itu sepenuhnya jujur. Namun, ada perasaan kayaknya kurang sopan deh. Bukan berarti orang yang sopan itu pembohong. Atau, bukan berarti orang yang jujur itu kurang ajar. Tapi keduanya sulit dilakukan pada saat yang bersamaan. Hanya orang yang benar-benar tulus yang dapat melakukannya. Sementara ketulusan, sangat sulit didapatkan. Kadang ada seorang teman yang membutuhkan bantuan kita. Seorang teman itu adalah teman yang sangat dekat bagi kita. Kita pasti ingin sekali membantu teman tersebut. Namun, sayangnya kita bukan robot ataupun google yang akan selalu tersedia. Kadang keti

Bagaimana Keadilan diperjuangkan dan Hukum ditegakkan

 Setelah beberapa kasus terjadi. Pelanggaran hukum yang terkesan dirahasiakan padahal terkuak dipermukaan. Membuat rasa percara masyarakat kepada hukum meluntur. Perlahan meleleh seperti lilin yang dinyalakan. Terkikis seperti pasir pantai oleh ombak laut. Gerakannya lambat, tapi pasti terjadi. Sudah bukan lagi rahasisa umum ketika orang mengatakan, "hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas." Beberapa orang kalangan atas yang melanggar hukum dapat semena-mena terhindar. Entah bagaimana caranya, seperti sulap. "Bimsalabim, anda bebas tak bersalah." Atau lebih-lebih, "Anda dinyatakan bersalah dan dihukum seberat-beratnya." tapi setelah hush, hilang entah kemana. Lalu untuk apa ada hukum? Hukum dibuat oleh kalangan kelas atas. Kalangan orang-orang yang kuat saja yang membuat hukum. Hukum dijadikan sebagai pengaman oleh orang-orang yang memiliki derajat lebih tinggi. Memang, dalam memberikan keputusan yang ditujukan untuk keadilan. Kita tidak bisa memberikan orang

Makanan itu Jangan Dimakan

 Ya, saya bisa mengerti dan memahami. Saya juga sangat bangga bahwa kita sudah mulai melek dalam hal makanan. Makanan ini bergizi, sedangkan makanan itu tidak. Makanan ini bervitamin tinggi. Makanan ini adalah makanan sehat. Jadi ... Kamu jangan pernah sekali-kali menyentuh makanan itu. Memang tidak haram, tapi makanan ini tidak sehat, buruk bagi kesehatanmu, makanan itu berlemak tinggi, terlalu karbo, makanan itu banyak gulanya. Kamu mau mati cepat dengan makan makanan itu? Sedikitpun dari saya tidak bisa menyukai hal tersebut. Kenapa sih kita harus tampak semenggurui itu masalah makanan? Menurut saya itu kurang bijak. Bagimana dengan penjual makanan yang menjual makanan yang kita larang untuk makan itu? Apa pernah berpikir sejauh mana sampai penjual itu memperdagangkan makanan yang kita olok-olok itu? Ah, saya juga tidak ingin menyeret sejauh itu. Mungkin lain kali saja. Tapi bagi saya. Ada hal penting antara kita dengan teman kita atau orang terdekat yang kita larang-larang itu. Kit

Perdebatan

 Nongkrong, ngopi, atau sekedar ngobrol di teras rumah pasti akan terjadi sebuah dialog. Dialog, seperti yang kita ketahui memerlukan orang lain untuk saling berbalas. Dialog akan tampak membosankan jika terjadi dengan lawan bicara yang sangat pasif. Bayangkan saja, ketika kita berbicara dijawab dengan kata iya, tidak, atau kata lain yang singkat saja. Ketika kita bertanya, "Gimana kabarmu?"; "Baik". "Apa kamu sudah makan?; "Sudah". "Apa kamu tidak lupa mengerjakan PR kemarin?"; "Tidak". Terungkap atau tidak, pasti lawan bicara yang seperti itu ingin membalikkan meja. (Maaf, tidak bermaksud menyampingkan introvert, pembahasan ini sebatas dialog saja) Beda kasus jika lawan bicara kita menerapkan "Ya, (dan) ..." atau "Ya, (tapi) ..." pasti dialog yang terjadi akan sangat seru dan kita betah untuk bercakap-cakap lama dengan orang tersebut. "Kamu sudah makan?"; "Sudah, tadi aku sarapan pakai gudeg bua

Bisikan dengan Lantang, Teriakan dengan Sunyi

 Sinar matahari yang melebur Sembunyi di balik langit abu-abu Dinginnya menyakatan padaku Masihkah kita harus membisu "Ungkapkanlah perlahan, bukan agar aku mengertimu." Ucapmu tersenyum manis dengan mata coklat bersinar tampak mendayu "Bisikanlah dengan lantang, bukan agar aku mendengar bisikanmu" Kamu mendekarkan bibirmu tanpa kata kamu membisikannya "Teriakanlah dengan sunyi, bukan agar aku memahami teriakanmu" Ketika kamu berteriak sebisamu Nada indah keluar dari mulurmu

Tak Pandai Bersolek

 "Kata mereka aku ini kurang cantik. Maka aku belajar untuk bersolek. Ketika bersolek untuk membuat aku cantik, kata mereka aku ini sok molek." Aku mulai memupuk bedak, aku usahakan tidak terlalu tebal agar tidak menor. Namun, tetap saja mereka bilang terlalu menor. Aku mulai mungusapkan gincu pada bibir yang mulai menghitam karena rokok lebih sering menyambanginya daripada bibir laki-laki. Terlalu Menor. Aku mulai menggambar alis pada alis yang enggan tumbuh di atas mataku Aku menggambar seperti bulan sabit tapi mereka bilang, "aslinya alis botak" "Jangan bersolek jika kau tak pandai bersolek." Aku tak tahu bagaimana memuaskan keinginan mereka yang acap kali berganti dan kepuasan mata belaka. Maka aku buang bedak, lipstik, dan pensil alis itu.

Kecemasan dan Kekaguman

 Ketika kita berpapasan dengan kecemasan, akan ditampilkan dua pilihan dari papasan itu. Satu, kita akan menjumpai rasa takut. Kedua, kita akan menjumpai sebuah perenungan. Keduanya tidak harus berurutan, dan kita tidak bisa langsung melaksanakan keduanya secara bersamaan. Alias, dua opsi itu merupakan pilihan. Lantas apa yang didapatkan dari memilih salah satu di antaranya? Saya tidak mengatakan kita harus memiih atau menekuni salah satu dari pilihan itu. Keduanya bisa dilakukan, hanya saja tidak dalam waktu yang bersamaan. Sebagai contoh konkrit dari gagasan itu seperti contoh kasus berikut: "Saya cemas dengan masa depan saya." Saya bisa mengubah rasa cemas itu menjadi sebuah rasa takut. Atau saya juga bisa menikmati rasa cemas itu dan menjadikannya sebuah renungan. Ketika kita mengubah rasa cemas itu dengan rasa takut. Kita akan melakukan hal yang secara naluriah tersusun sendiri rencana-rencana. Ketika kecemasan akan masa depan diubah menjadi rasa takut. Maka, kita akan m

Wisuda

 Majulah! Jangan gentar! Kuatkan kakimu, berdirilah Tersenyumlah akan langkah- langkahmu, karena orang tua menatapmu dengan bangga Majulah! Jangan takut! Kepalamu telah terisi ilmu Bagikanlah apa yang kamu miliki, karena yang kamu miliki bukan hanya milikmu Majulah! Jangan rebah! Sebab apa yang kamu punya Harusnya bisa berguna, karena di tanganmu, ada dunia di togamu, ada jerih payah