Kecemasan dan Kekaguman

 Ketika kita berpapasan dengan kecemasan, akan ditampilkan dua pilihan dari papasan itu.

Satu, kita akan menjumpai rasa takut. Kedua, kita akan menjumpai sebuah perenungan. Keduanya tidak harus berurutan, dan kita tidak bisa langsung melaksanakan keduanya secara bersamaan. Alias, dua opsi itu merupakan pilihan.

Lantas apa yang didapatkan dari memilih salah satu di antaranya?

Saya tidak mengatakan kita harus memiih atau menekuni salah satu dari pilihan itu. Keduanya bisa dilakukan, hanya saja tidak dalam waktu yang bersamaan.

Sebagai contoh konkrit dari gagasan itu seperti contoh kasus berikut:

"Saya cemas dengan masa depan saya."

Saya bisa mengubah rasa cemas itu menjadi sebuah rasa takut. Atau saya juga bisa menikmati rasa cemas itu dan menjadikannya sebuah renungan.

Ketika kita mengubah rasa cemas itu dengan rasa takut. Kita akan melakukan hal yang secara naluriah tersusun sendiri rencana-rencana. Ketika kecemasan akan masa depan diubah menjadi rasa takut. Maka, kita akan melakukan hal-hal yang menurut kita sepantasnya dilakukan.

Mungkin kita akan memulai sebuah usaha, mungkin kita akan memulai belajar dengan giat, melamar pekerjaan, dan lain-lain, yang tampak nyata. Dengan kata lain, rasa cemas itu berubah menjadi sesuatu yang konkrit ketika diubah menjadi rasa takut. Apa yang kita lakukan akan terlihat secara fisik dan nyata.

Sedangkan, ketika kita mengubah rasa cemas menjadi sebuah renungan. Kita akan membuat otak kita bekerja. Ketika otak kita bekerja, beberapa pemikiran akan menjadi hipotesis-hipotesis. Maksudnya, beberapa teori akan dimunculkan dari perenungan tersebut.

Sebagai contoh dari kecemasan masa depan yang akan diubah menjadi perenungan itu, bisa jadi seperti:

Kenapa kita mencemaskan masa depan? Apa sesungguhnya masa depan itu sehingga kita harus memikirkannya? Atau, mungkin yang paling radikal. Kenapa harus ada masa depan?

Pertanyaan-pertanyaan masa kecil akan dimunculkan dari perenungan itu. Sebagaimana kita telah hidup, berdasarkan pengalaman, hasil belajar, dan faktor-faktor lain yang membentuk kita. Hal-hal itulah yang akan menentukan hipotesis seseorang. Karena itu, acap kali hipotesis itu akan sangat beragam. Namun, tidak memungkinan ada beberapa orang yang, entah pengalamannya sama, atau belajar di tempat yang sama, atau mengalami nasib yang sama. Maka akan memunculkan hipotesis yang kurang lebih akan sama dengan yang lainnya.

Apakah itu hanya dalam bentuk kecemasan. Sejauh yang saya mengerti, itu juga berlaku sama pada rasa kagum.

"Saya mengagumi tempat ini"

Kita bisa memilih. Mengubah rasa kagum itu menjadi rasa cinta, atau mengubah rasa kagum itu menjadi renungan.

Ketika kita mencintai suatu tempat. Maka kita akan berlama-lama di tempat tersebut. Atau kita akan mengusahakan untuk kembali mengunjungi tempat tersebut. Atau kita akan mengabadikannya dengan berfoto di tempat tersebut. Hal-hal yang lebih bisa ditampakkan secara nyata akan dimunculkan dari mengubah rasa kagum itu menjadi cinta.

Bukankah cinta tidak bisa ditampakkan secara nyata? Ah, saya juga kurang tahu. Tapi bukankah cinta juga bisa diusahakan? Lantas, kalau bisa diusahakan, mengapa dikatakan bahwa cinta itu tidak bisa ditampakkan secara nyata?

Menurut saya pribadi, cinta yang seperti itu belum bisa dikatakan sebagai cinta. Namun, kita memaksakan kata cinta padahal yang seperti itu sebenarnya bertahan pada rasa kagum. Rasa kagum yang direnungkan. 

Perenungan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan itu yang akan dijawab menggunkan hipotesis. Jadi, pertanyaan-pertanyaan akan cinta itu sebenarnya adalah rasa kagum kita akan rasa cinta dan sedang kita renungkan.

Secara sederhana, dari rasa cemas dan rasa kagum kita akan menemui pilihan antara membiarkannya menjadi renungan atau melakukan aksi. Tergantung pada urgensi kita masing-masing untuk memilih dari kedua hal itu.

Tidak perlu terburu-buru untuk melakukan aksi, mungkin dengan merenungkannya secara sejenak akan tercipta aksi yang lebih matang. Juga tidak perlu berlarut-larut untuk merenungkannya, karena hidup kita pasti perlu makan dan minum yang merupakan sebuah aksi. Sebisa mungkin, kita menyeimbangkannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi