Makanan itu Jangan Dimakan

 Ya, saya bisa mengerti dan memahami. Saya juga sangat bangga bahwa kita sudah mulai melek dalam hal makanan. Makanan ini bergizi, sedangkan makanan itu tidak. Makanan ini bervitamin tinggi. Makanan ini adalah makanan sehat.

Jadi ... Kamu jangan pernah sekali-kali menyentuh makanan itu. Memang tidak haram, tapi makanan ini tidak sehat, buruk bagi kesehatanmu, makanan itu berlemak tinggi, terlalu karbo, makanan itu banyak gulanya. Kamu mau mati cepat dengan makan makanan itu?

Sedikitpun dari saya tidak bisa menyukai hal tersebut. Kenapa sih kita harus tampak semenggurui itu masalah makanan? Menurut saya itu kurang bijak.

Bagimana dengan penjual makanan yang menjual makanan yang kita larang untuk makan itu? Apa pernah berpikir sejauh mana sampai penjual itu memperdagangkan makanan yang kita olok-olok itu? Ah, saya juga tidak ingin menyeret sejauh itu. Mungkin lain kali saja.

Tapi bagi saya. Ada hal penting antara kita dengan teman kita atau orang terdekat yang kita larang-larang itu. Kita suka melarang-larang. Jangan makan makanan itu. Tapi apakah pernah, sekali saja, kita bertanya kepada mereka (teman, orang terdekat, dll.) yang kita larang itu dengan kalimat, "apa makanan kesukaanmu?"

Saya berani berataruh, itu lebih jarang kita lakukan atau bahkan tidak pernah kita lakukan, daripada ketika kita melarang-larang. Saya pikir, kita sudah menjadi orang yang menyebalkan karena itu. Kita lebih hobi untuk membatasi orang lain daripada sekedar menanyai apa yang orang lain suka.

Bukan bermaksud untuk menjatuhkan kemelekan kita akan makanan bergisi ataupun tidak. Bukan bermaksud untuk memundurkan kembali dari kemajuan pengetahuan yang sudah kita gaung-gaungkan. Akan tetapi, bukankah larang-larangan makanan ini sudah ada sejak dulu.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, ketika saya masih sangat kecil dan menonton berita. Ada sebuah laporan bahwa makanan yang saya suka, tempe, mengandung formalin dan kandungan lain sebagainya yang membahayakan kesehatan. Bayangkan saja jika makanan kesukaanmu merupakan makanan yang sedang dihindari.

Tidak mungkin tidak. Saya menjadi parno dengan tempe-tempe. Makan saya ketika itu jadi kurang nikmat karena berita tersebut. Tidak hanya bertahan disitu saja. Larang-larangan itu merembet. Besoknya saya lihat lagi berita, kali ini giliran bakso yang kena getahnya. "Awas bakso mengandung boraks". Lagi, lagi, dan lagi. Sampai-sampai beras yang kita makan katanya dicuci menggunakan pemutih berbahaya.

Hal itu sangat informatif, namun tetap saja, itu menyebalkan.

Apa salahnya sih sesekali berdosa dengan makanan favorit kita? Sebenarnya gak dosa secara agama, karena itu halal. Namun, larangan yang terlalu keras itu lho, seperti menyeramkan. Apa salahnya jika sesekali kita membeli bakso? Apa salahnya jika sesekali kita makan mie instan? Apa salahnya jika kita makan nasi goreng abang-abangan pinggir jalan? Enak. Makanan-makanan itu enak bukan main.

Terakhir, mungkin ditarik lebih ke dalam lagi. Alasan larangan kita itu tentunya kesehatan, bukan? Padahal jika boleh jujur, penyebab kematian tidak hanya kesehatan. Bukan begitu? Bagaimana jika waktu di dunia yang sementara ini kita belum sempat untuk makan bakso, mie instan, nasi goreng, dll. itu?

Tapi, saya menyadari. Apapun yang berlebihan juga tidak baik. Segalanya secukupnya. Makan-makanan yang mungkin bagi orang lain kurang sehat, kita bisa memakannya sesekali. Vice versa, mungkin kita juga jangan terlalu sok-sokan melarang karena mungkin itu jatah dia menikmati makanan tersebut. Mungkin juga rejeki orang yang menjual makanan tersebut.

Bagimana kita menyikapinya. Sebagaimana yang seharusnya dan tidak terlalu memaksa. Kita yang menginginkan demokrasi, orang lain berhak memilih makanan atau memakan makanan favorit mereka. Tapi, kenapa kita harus memulai kegiatan otoriter dengan memaksa orang lain memilih makanan sehat sesuai dengan yang kita ketahui.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi