Bagaimana Keadilan diperjuangkan dan Hukum ditegakkan

 Setelah beberapa kasus terjadi. Pelanggaran hukum yang terkesan dirahasiakan padahal terkuak dipermukaan. Membuat rasa percara masyarakat kepada hukum meluntur. Perlahan meleleh seperti lilin yang dinyalakan. Terkikis seperti pasir pantai oleh ombak laut. Gerakannya lambat, tapi pasti terjadi.

Sudah bukan lagi rahasisa umum ketika orang mengatakan, "hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas." Beberapa orang kalangan atas yang melanggar hukum dapat semena-mena terhindar. Entah bagaimana caranya, seperti sulap. "Bimsalabim, anda bebas tak bersalah." Atau lebih-lebih, "Anda dinyatakan bersalah dan dihukum seberat-beratnya." tapi setelah hush, hilang entah kemana.

Lalu untuk apa ada hukum?

Hukum dibuat oleh kalangan kelas atas. Kalangan orang-orang yang kuat saja yang membuat hukum. Hukum dijadikan sebagai pengaman oleh orang-orang yang memiliki derajat lebih tinggi.

Memang, dalam memberikan keputusan yang ditujukan untuk keadilan. Kita tidak bisa memberikan orang yang tidak tahu menahu tentang apa-apa, tidak kuat, tidak memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Karena itu, pada masa lampau, hukum atau peraturan selalu ditetapkan oleh raja-raja.

Bagimana hukum bisa ditegakkan, jika pelaku penegak hukum merupakan orang yang lemah. Berandai saja, bagimana bisa ayam menjadi hakim dari keadilan yang tengah diperebutkan oleh harimau dan singa? Tentu tidak ada hal bijak yang dapat dilakukan oleh ayam selain berlari menyelamatkan diri sendiri.

Keadilan dapat berdiri dengan jejak, ketika penegak keadilannya merupakan orang yang mampu. Orang yang mampu dapat dimaknai orang yang kuat, punya derajat lebih tinggi, atau tak jarang juga berasal dari kalangan kelas atas. Dengan bertumpu pada merekalah, kita kalangan kelas bawah berharap kepada mereka.

Namun, acap kali memang diselewengkan. Seperti yang sudah tersebut pada pembuka tadi. Acap kali kalangan kelas atas lebih memilih mempertahankan posisinya menjadi yang mutlak memiliki keadilan dan digunakan untuk kepentingan pribadi. Hal itu tidak bisa dikatakan sebagai keuntungan karena menjadi yang menegakkan keadilan. Karena keadilan bukan merupakan kepentingan pribadi, keadilan merupakan kepentingan bersama.

Lalu bagaimana dengan kita yang kelas bawah dan lemah?

Seorang raja yang bijak telah menetapkan peraturan-peraturan dan hukum yang berlaku pada kerajaannya. Seorang raja yang bijak, tidak ingin mencelakai rakyatnya. Seorang raja yang bijak juga mengusahakan kesejahteraan serta kesehatan rajanya. Karena dengan itu, rakyat dapat bekerja untuk kehidupannya dan raja dapat memperoleh abdi atau prajurit dari rakyatnya.

Keadilan diperuntukkan juga bagi kita yang lemah. Kita yang lemah dilindungi oleh hukum. Bayangkan saja, jika tidak ada hukum. Bagaimana kita yang lemah menghadapi orang-orang kuat namun bengis yang hendak melukai kita. Jika tidak ada hukum, mungkin mereka orang yang kuat dan bengis dengan semena-mena melukai, merampok, mengambil hak-hak kita.

Dalam kasus tersebut, hukum berpihak pada kita yang lemah. Peraturan menguntungkan kita yang lemah. Sebab apa pula kepentingan orang kuat dan bengis itu kepada hukum. Mereka tidak menggunakan hukum sebagai kepentingan mereka. Bahkan, mungkin orang kuat dan bengis itu sama sekali tidak menginginkan hukum atau peraturan ada.

Kita yang lemah, memiliki perlindungan hukum. Kita yang lemah juga, yang akan lebih susah payah untuk memperjuangkan keadilan. Sebab, sebagai manusia yang mempunyai hawa nafsu dan menggemari dosa. Kita lebih merasa bahagia ketika berbuar salah karena perilaku kita pribadi, daripada kita dinistakan orang lain.

Seberapa banyak dari kita yang merasa bahagia karena baru saja menerobos lampu merah. "Ah, baru saja merah. Udah terlanjur tancap gas!" Mungkin bahkan kita mengatakan itu dengan tertawa-tawa. Tapi bagaimana jika kita diposisi orang yang lampu hijaunya diterobos? Segala jenis makian bahkan hewan-hewan kebun binatang bisa-bisa terbawa. 

Kita lebih menyukai dosa yang kita perbuat daripada orang lain berbuat dosa kepada kita. Hal itu, yang menjadi semacam bau kentut pada keadilan. Diam, perlahan, kadang tidak ada suaranya, tapi juga bisa membunuh hukum itu sendiri. Normalisasi melanggar lampu merah, melanggar zebra cross hak penyebrang jalan, merokok sambil bermotor, menjadi bau kentut terhadap hukum.

Alangkah lebih baik jika sebelum memperjuangkan kita intropeksi diri. Istilah orang jawa bilang, "nggrayai jitok e dewe." Dengan sadar diri tentu menipiskan kemungkinan pelanggaran hukum. Dengan sadar diri tidak melemahkan hukum dengan melanggar hal-hal kecil, kita mengasah hukum kita menjadi lebih tajam tidak menumpulkannya sendiri.

Sebab, bagaimanapun juga. Kita sebagai manusia sangat memerlukan peraturan dan hukum. Sebagai pembeda kita dengan mamalia atau mahluk lain adalah kita mampu membuat sebuah peraturan dan hukum. Semoga di negeri kita, di dunia ini juga, keadilan tetap diperjuangkan dan hukum tetap ditegakkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi