Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2023

Tiba Waktu Mati

 Betapa ia begitu jahat, tak pernah behenti sekalipun aku memohon untuk dikasihi. Betapa ia begitu kejam, bagai tak berhati sekalipun aku berlutut untuk dikasihani. Oh Tuhan, tidakkah bisa saya tetap disini? Ia memegang pedang ditangannya, siap menerjang Bagaimanapun saya menghindarinya, percuma. Nama saya sudah tertulis di pedangnya yang mengkilat, tajam, bersimpah darah merah bekas orang-orang yang sudah dibunuh, diambil nyawa olehnya.  Ia selesai dengan pedangnya, kini aku mati. Tak bernapas lagi. Tapi ia belum selesai dengan ini. Maka ia memotong, memisahkan, menanyai bagian tubuhku satu-satu. Dari ujung kepala sampai kaki. Diluar kehendakku, mereka bersaksi.

Merangkak Jadi Penulis

 Agaknya tulisan ini lebih personal, tapi sebenarnya saya ingin berdiskusi saja mengenai kepenulisan. "Meskipun pengalaman hidup seseorang begitu dahsyat, ketika ia menuliskannya bisa saja terasa biasa-biasa saja. Sebaliknya, pengalaman yang biasa-biasa saja, kalau ditulis dengan intensitas dan kepekaan artistik, bukan tidak mungkin menjadi cerita yang lebih bagus." Begitulah yang dikatakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya yang berjudul "Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara". Barang tentu, bagian yang personal adalah sebuah penyesalan saya, akan apa yang sudah saya lakukan beberapa tahun ke belakang. Saya ingin menjadi seorang penulis. Mimpi itu menjadi cita-cita paten sejak saya duduk di bangku SMA. Bisa dikatakan sejak itu saya tahu apa yang saya inginkan. Beruntungnya saya berada dijalan yang benar sejak mimpi itu saya deklarasikan dalam pedoman hidup saya. Saya berhasil masuk kuliah jurusan sastra Indonesia. Lalu, dimana letak penyesalannya?  B

Dunia Laki-Laki Sama Saja

 Jam 10 malam, tepat dimana kita pertama bertemu Di bawah lampu kota yang nyala kuning terang Kamu baru saja keluar dari sebuah bar, tidak mulutmu tidak berbau alkohol. Ketika aku bisa mendengar halus hela napasmu. Kamu tampak kacau ketika itu, meliriku sambil mengatakan, "dunia laki-laki sama saja!" Aku diam saja. Aku tahu kamu tidak mabuk sama sekali. Konyol. Lucu. Tapi kecewa berat akan melebihi dari sekedar mabuk belaka, kan? Masih terlalu awal untuk keluar dari bar, jam 10 bahkan laki-laki paruh baya itu baru saja masuk untuk memesan wine. "Ia pasti mencari dunia lain, suntuk. Meninggalkan istrinya dan anak bayinya yang baru saja lahir lima bulan lalu, merengek!" "Dunia laki-laki sama saja!" Kamu mengulangi. Pipimu mulai basah, matamu kabur karena air mata yang belum menetes. Aku diam saja, tak mengerti apa yang sama saja. Tapi aku ada di situ. Di sampingmu. Kita berkenalan dan kamu bilang, "Dunia laki-laki sama saja!" Aku tak pernah mengert

Pembicaraan Bantal

 Kau boleh ikut ke mana pun aku pergi. Ketika orang tengah bingung dengan anggapan, "Bumi itu datar atau bulat?" ; "Bumi ada ujungnya atau tidak?" Kau bisa berada di dekatku. Ketika orang beradu pendapat, "mana yang selalu bersama?" ; "Bulan dan Bintang atau kicau burung dan Matahari pagi?" Aku ingin merebahkan diri. Kamu dapat menaruh kepalamu di atas dadaku. Dalam pelukan, kita bisa membicarakan apa pun yang kita mau. Sebelum sama-sama terlelap bersama Bulan dan Bintang. Dan kemudian kita terbagun esok bersama kicau burung dan Matahari pagi.

Baca Buku Bajakan?!

 "Buku-buku yang kamu beli ini bajakan?" Pertanyaan yang paling menyebalkan yang pernah saya terima. Ketika saya sedang memposting buku yang saya baca atau saat beberapa orang melihat koleksi-koleksi buku saya, pertanyaan menyebalkan itu mereka tanyakan tanpa permisi. Jujur dalam hati saya, saya membalas pertanyaan seperti itu dengan umpatan paling kasar. Sebagai pembaca saja saya merasa terhina ketika ditanya hal yang seperti itu. Bagaimana perasaan penulis ketika bukunya dibajak? Tentu hal yang tidak bisa dibayangkan. Ulasan, diskusi, atau postingan media sosial mengenai buku bajakan ini memang sudah banyak disinggung. Alasan-alasan seperti; Buku ori mahal untuk dibeli oleh orang yang tidak banyak uang; Buku ori-nya susah dicari, Kebutuhan yang sangat mepet. Itu bukanlah alasan yang bisa dijadikan pembelaan ketika membajak buku. Tidak ada alasan apapun untuk membajak buku. Mungkin menyandingkan alasan "buku ori mahal untuk dibeli" dengan baju, sepatu, atau tas ori

Istana Kita

 Kita melangkah di atas permadani luas, terlalu luas, Aku takut untuk melangkah Kamu enggan memegang tanganku ... "Ini istana kita," katamu tersenyum sambil lalu

Lalu Kau ...

"Kau melihat sepasang merpati itu sayang?" Lalu kau jawab, hanya satu. Bukan sepasang "Satu merpati terbang sendiri, ya sayang?" Lalu kau merasa bosan dan pergi dari taman  "Rumahku di Surgaloka, kau tak akan tahu" Aku belum pernah tahu, jawabku dua bulan lalu "Memang, hanya bidadari yang tinggal disitu" Ku bayangkan saja, Surgaloka sejauh Merkurius Jawabmu; Katamu; Guraumu. Tapi aku tak pernah tahu persis bagaimana "suaramu" Lalu Kau ... Ku bayangkan saja, lalu kau ... -2023

Beker

 Jam bekernya berbunyi, ia tidak menghiraukannya. Matanya terasa sangat berat seakan ada tangan yang menutupinya. Telinganya menolak beroprasi. Otaknya ditahan oleh rasa enggan untuk mematikan jam beker. Nanti kalau capek juga mati sendiri, batinnya. "Bangun sayang, nanti telat lho" Jam beker itu memerotes diantara bunyi kring!!! Barangkali laki-laki sialan yang menjadi beban hatinya kemarin masih terjebak dipikirannya. Ia mencoba tak menghiraukan itu. Ia masih capek, matanya yang sembap itu masih enggan terbuka. Kriiing!!! Sialan. *** Setelah pulang dari tempatnya bekerja menjadi pelayan sebuah toko swalayan. Perempuan itu melepaskan kuncir kuda belakang rambutnya, merebahkan tubuhnya diatas kasur yang masih lengkap dengan seragam toko, dan lipstik merah yang menghiasi bibirnya. "Ah, capek ..." desisnya menatap langit-langit. Beberapa menit ia membiarkan dirinya melamun. Menatap lampu kamarnya, kemudian lukisan Monalisa di dinding, rak yang diisi oleh barang-barang

Sebuah Nama yang Indah

 Hei, namamu siapa? "Entahlah" Sungguh nama yang indah. "Pergilah" Bisa ku panggil apa? "Enyahlah" Lalu perempuan itu menutup pintu rumahnya.  Laki-laki itu terlalu membuka dunianya. Tanpa menerka-nerka, yang ingin ia lakukan hanyalah: Berkenalan. Berbincang. Bercanda. Bersenang. Dengan perempuan yang sudah tidak ada, dibalik pintu yang baru saja ditutupnya. Lalu laki-laki itu pergi, beranjak dari rumahnya Memikirkan nama perempuan itu yang sebetulnya? "Entahlah", "Pergilah", atau "Enyahlah" saja. Maret, 2023

Mencari Kamu

 (Mencari kamu) "Mencari kamu, semoga ketemu. Mencari kamu, mencari kamu, terus mencari kamu." seperti mencerca, komat-kamit, berjampi-jampi dan mengucapkan mantranya. Perempuan itu terus berjalan menuju Barat, benar-benar berjalan tanpa kendaraan jenis apapun. Kita semua tak ada yang tahu tujuan pastinya kemana, yang jelas ia menuju terbenamnya Matahari. Jangankan sungai besar yang jembatannya mulai reyot itu akan meragukannya, membuatnya bimbang akan langkahnya. Sawah saat hujan petir pun dilewatinya, hutan dengan binatang jenis apapun yang kita tidak tahu seberapa buasnya, dilewatinya. Jika ia tengah melewati perkampungan atau pemukiman warga, tak jarang ia dianggap gila. "Mencari kamu, semoga ketemu. Mencari kamu, mencari kamu, terus mencari kamu". Mulutnya tetap komat-kamit bermantra. Menurutnya lebih nyaman untuk melewati hutan meskipun penuh dengan hewan buas, daripada melewati kampong dengan mulut manusia yang tak kalah buas. "Memang gila!" &