Merangkak Jadi Penulis

 Agaknya tulisan ini lebih personal, tapi sebenarnya saya ingin berdiskusi saja mengenai kepenulisan.

"Meskipun pengalaman hidup seseorang begitu dahsyat, ketika ia menuliskannya bisa saja terasa biasa-biasa saja. Sebaliknya, pengalaman yang biasa-biasa saja, kalau ditulis dengan intensitas dan kepekaan artistik, bukan tidak mungkin menjadi cerita yang lebih bagus."

Begitulah yang dikatakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya yang berjudul "Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara". Barang tentu, bagian yang personal adalah sebuah penyesalan saya, akan apa yang sudah saya lakukan beberapa tahun ke belakang.

Saya ingin menjadi seorang penulis.

Mimpi itu menjadi cita-cita paten sejak saya duduk di bangku SMA. Bisa dikatakan sejak itu saya tahu apa yang saya inginkan. Beruntungnya saya berada dijalan yang benar sejak mimpi itu saya deklarasikan dalam pedoman hidup saya. Saya berhasil masuk kuliah jurusan sastra Indonesia.

Lalu, dimana letak penyesalannya? 

Bukankah memang penyesalan selalu datang disaat kita diam, mencoba memutar kenangan dalam kepala kita. Lalu penyesalan itu datang ketika potongan film dalam kepala kita menunjukkan betapa bodohnya hal yang kita lakukan dahulu. Buntut dari semua itu adalah kata "seharusnya".

Karena saya tahu saya ingin menjadi seorang penulis. Maka saya menjajal segala hal, "saya ingin mencari pengalaman" itu adalah kata yang membabi buta masa remaja saya.

Dari mencoba banyak hal ini itu, banyak peristiwa hebat yang saya rasa saya alami di masa remaja. Mencintai, dicintai, patah hati, membohongi, dibohongi, dan banyak dahsyat hal lain yang tidak bisa saya ceritakan disini.

Celakanya, saya merasa senang dengan pengalam baik-buruk yang sudah terjadi. Saya merasa pengalaman itu mendukung saya untuk bercerita. Hingga saya merasa puas padahal belum menuliskan apa-apa, belum menceritakan apa-apa, belum merencanakan tulisan yang seperti apa yang akan saya tulis.

Dalam sebuah dokumenternya Marc Marquez yang berjudul "Marc Marquez: All in" ada sesuatu yang bisa kita petik. Ia mengatakan, "saya adalah orang yang tahu keinginannya, dan melakukan keinginan saya dengan sungguh-sungguh." Kurang lebih seperti itu yang saya ingat.

Sungguh-sungguh.

Saya merasa, saya kurang bersungguh-sungguh dengan mimpi saya. Keinginan saya, obsesi saya untuk menjadi penulis. Saya terjerembap dalam kepulan kalimat "cari pengalaman dulu, sebanyak-banyaknya." Hingga saya lupa untuk terus melatih kemampuan saya menulis. Akhirnya pengalaman-pengalaman itu hanya menjadi bayangan yang belum saya ubah menjadi bentuk nyata berupa tulisan.

Lalu, dalam cerita instagramnya Raditya Dika. Dia pernah mengatakan, "Tugas seorang penulis itu mengubah sesuatu yang kompleks dalam kepalanya menjadi simpel agar mudah dirasakan oleh pembaca."

Seperti kata Seno Gumira yang sudah saya kutip di awal tulisan ini. Bahkan pengalaman kecil bisa menjadi tulisan yang hebat jika penulis itu bisa memolesnya. Pengalaman dahsyat bisa menjadi biasa-biasa saja kalau penulis tidak bisa menyampaikannya.

Dalam artian ini kita bisa mengatakan seorang penulis juga merupakan seniman. Setiap orang sama-sama diberi kanvas kosong dan diminta untuk melukis dengan ide kreativitasnya, hanya seorang pelukislah (dari sekumpulan orang itu) yang akan terlihat kualitas seni lukisnya. Maka, penulis juga seperti itu. Sama-sama diberi kertas kosong dan ia diminta untuk menuliskan ide kreativiasnya.

Terakhir. Kata penyesalan saya adalah, "seharusnya saya juga memoles kepekaan saya untuk menulis dengan intensitas yang tinggi."

Semoga tulisan ini menjadi gambaran umum agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk teman-teman yang membaca dan bercita-cita sebagai penulis.

Tulisan ini menjadi arsip saya yang masih bercita-cita menjadi penulis yang dalam beberapa tahun lagi ingin berdiri di London, mengikutkan karyanya dalam London Book Fair.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi