Mencari Kamu

 (Mencari kamu)

"Mencari kamu, semoga ketemu. Mencari kamu, mencari kamu, terus mencari kamu." seperti mencerca, komat-kamit, berjampi-jampi dan mengucapkan mantranya. Perempuan itu terus berjalan menuju Barat, benar-benar berjalan tanpa kendaraan jenis apapun. Kita semua tak ada yang tahu tujuan pastinya kemana, yang jelas ia menuju terbenamnya Matahari.

Jangankan sungai besar yang jembatannya mulai reyot itu akan meragukannya, membuatnya bimbang akan langkahnya. Sawah saat hujan petir pun dilewatinya, hutan dengan binatang jenis apapun yang kita tidak tahu seberapa buasnya, dilewatinya. Jika ia tengah melewati perkampungan atau pemukiman warga, tak jarang ia dianggap gila. "Mencari kamu, semoga ketemu. Mencari kamu, mencari kamu, terus mencari kamu". Mulutnya tetap komat-kamit bermantra. Menurutnya lebih nyaman untuk melewati hutan meskipun penuh dengan hewan buas, daripada melewati kampong dengan mulut manusia yang tak kalah buas.

"Memang gila!"

"Edan! Seharusnya dia cantik kalau tidak gila!" Kata seorang remaja yang tak pernah dicintai oleh siapapun, yang berahinya dengan gampang muncul melihat perempuan (yang katanya) gila.

"Jangan dekati! bahaya, orang gak waras!"

Tak digubrisnya, sama sekali tidak dihiraukannya. Bahkan dalam ... , yang kita kira-kira saja itu mantranya. Sebentar, sebagai bentuk disclaimer. Jangankan apa yang dikatakannya itu kita mengerti maksud dan tujuannya. Siapa namanya, darimana dia, hendak kemana dia, tidak ada yang tahu. Termasuk saya yang menuliskan cerita tentang perempuan ini. Dia terus berjalan, saat seperti cercaan orang tak digubrisnya. Tak kuasa terus mendengar ocehan orang-orang di kampung itu, dalam mantranya ia menyelipkan, "orang-orang gila. Mengatakan aku gila!"

"Onok wong gendheng! Ayo mlayuuuu!1" seorang anak kecil di ujung kampung itu berlari ketika melihatnya. Tak digubrisnya tapi tetap saja, ia memiliki perasaan. Ia merasa jengkel dengan anak-anak itu.

"Dasar. Anak-anak orang gila!"

***

Ia terus berjalan, lagi berjalan, dan masih berjalan. Bajunya yang sudah kumal, baunya yang sudah tidak sedap, alas kaki yang sudah tidak ada lagi, hilang atau tertinggal entah dimana. Tidak ada salahnya untuk orang yang melihatnya menganggap dia ini orang gila. Ciri-cirinya pas, baik fisik dan mentalnya mengingkari untuk dikatakan ia adalah orang yang normal. Tapi dia jelas terlalu muda untuk menjadi orang gila. Dia juga terlalu cantic untuk menjadi gila.

Apakah memang orang gila ada batasan usia? Saya tidak tahu. Apakah memang orang cantik tidak boleh gila? Bukan kuasa saya untuk mentakdirkan seseorang menjadi gila atau tidak. Yang jelas banyak orang yang menganggap orang ini, orang gila. Dari ciri fisik dan komat-kamit mantranya meskipun dia cantic, dia dianggap gila.

Kenapa semua orang menganggap dia gila? Saya tidak tahu. Sudah saya katakan, saya sendiri pun tidak tahu apa-apa tentang yang sedang saya tulis ini. Lagipula, saya juga tidak tahu batasan orang waras dengan orang gila itu apa? kalau tidak bisa menghargai sesama manusia, saling mencerca, saling menghina dengan hanya menduga-duga. Orang (waras) mengatakan dia orang gila, dia orang yang kita anggap gila mengatakan bahwa (kita orang waras) yang menghinanya itu adalah orang gila.

Sudah, saya tidak tahu. Boleh saya lanjutkan ceritanya?

Ia terus berjalan dengan baju yang tidak hanya kumal. Tapi robek disana-sininya sampai menonjolkan privasi yang tidak seharusnya diumbar, rambutnya sudah tampak kering karena tidak tersentuh shampoo sama sekali sejak kali pertama dari Timur dia melangkahkan kakinya, baunya sudah jangan ditanya lagi. Sekarang tidak ada lagi pembelaan untuk mengatakan sebenarnya dia bukan orang gila, meskipun dulunya ada laki-laki muda yang menggerutu bahwa ia terlalu cantik untuk menjadi orang gila.

Kali ini, kecantikannya sudah sirna entah sejak kapan. Kecantikannya pergi meninggalkan tubuh pemiliknya yang sudah tidak merawat “cantik” itu sendiri.

Kini tak hanya orang kampung saja yang mencibirnya sebagai orang gila. Saat ia berjalan dengan mantranya, sama seperti orang kota lainya yang berangkat kerja menenteng tas untuk dipenjara dibalik dinding gedung yang mereka sebut kantor. Orang-orang itu, ketika berpapasan dengannya akan segera menutup hidungnya, mengambil jarak sedikit menjauh darinya dengan tatapan jijik. Ia hanya menyeringai dengan tatapan lebih mengejek daripada orang-orang sibuk itu. Dalam pikirannya yang mungkin masih sedikit waras ia merasa kasihan pada orang-orang sibuk itu, setidaknya orang gila tidak punya kegilaan untuk hidup dengan ambisi kaya-raya sehingga membuat dirinya sendiri terjajah.

Untungnya di kota, jika hujan dia bisa berlindung di bawah toko Orang Bermata Sipit. Orang Bermata Sipit di kota itu, kadang orang itu membiarkannya begitu saja meneduh di depan tokonya. Ia tertidur di depan toko tersebut dengan membeber kardus bekas air minum pun, pemilik toko membiarkannya. Berbeda dengan Orang Kulit Sawo Matang yang bukan pemilik toko, lelaki berbadan gempal dan beberapa tubuhnya bertato itu akan mengusirnya. Menendangnya tak peduli bahwa ia seorang perempuan, seakan untuk orang gila tidak ada perbedaan jenis kelamin lagi. Laki perempuan sama saja kalau orang gila. Tidak ada laki atau perempuan, gila ya gila. Keseteraan gender.

Andai saja Orang Kulit Sawo Matang yang sama dengan warna kulitnya itu tahu kalau ia sama-sama pribumi. Lebih-lebih tahu kalau ia adalah wanita cantik sebelum terus berjalan tak tentu arah dengan mantranya itu. Tentu tak akan tega Orang Kulit Sawo Matang melakukan itu pada perempuan cantik. Maka ia hanya berdiri, tidak tampak seperti orang gila lainnya yang melawan. Ia meninggalkan toko Orang Bermata Sipit itu dan menduga Orang Kulit Sawo Matang adalah budak yang disuruhnya untuk mengusir. Tidak hanya kehilangan kemerdekaan,ia berpikir, “kok bisa ada orang waras mau-maunya bekerja menjadi budak?”

***

Berjalan jauh dari Timur ke Barat memberinya banyak cerita. Hanya banyak cerita bukan berarti bisa mengubah mantranya itu. Bukan berarti ia luluh pada tujuan awalnya. Ia tetap orang itu, orang yang terus mengomat-amitkan mantranya: "Mencari kamu, semoga ketemu. Mencari kamu, mencari kamu, terus mencari kamu. Sudah ketemu!"

Cerita ini selesai, saat penulis cerita ini sedang mencari "kamu" dan ternyata kamu sudah membalas pesanku!

 

Malang, November-Desember 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi