Tentang Skripsi

 Sesuatu yang bercampur akan membuat tak karuan. Hal-hal yang bercampur akan meleburkan orisinalistas dari satu komponen yang asli. Hal ini yang sering kita jumpai pada sosial media. Berbagai lapisan orang akan berkumpul, berunding, mendengarkan, dan membicarakan dengan porsi yang sama atau corong pengeras suara yang sama. Semrawut.

Beberapa waktu yang lalu saya menemukan fenomena perdebatan di sosial media yang membicarakan tentang pentingnya skripsi. Kolom komentar pada postingan tersebut langsung terbanjiri oleh berbagai macam warganet. Ada yang merasa skripsi itu memang sangat diperlukan. Ada juga yang mengatakan, skripsi sebenarnya tidak perlu.

Saya ada di pihak yang mendukung keberadaan skripsi. Tanpa joki tentunya.

Skripsi menjadi tolak ukur bagi mahasiswa tentang akreditasi dirinya sendiri. Maksudnya, intelektual mahasiswa dapat dilihat dari susunan skripsi yang telah ia buat. Jika skripsi ditiadakan, maka apa yang bisa masyarakat ambil dari lulusan tersebut? Bukankah setiap dari mahasiswa ingin terlibat dalam kehidupan.

Kita ambil contoh saja seorang dokter. Bagaimana jika seorang calon dokter tidak menyusun skripsi, bagaimana jika seorang calon dokter menggunakan jasa joki untuk kelulusannya. Akan sangat meragukan bagi kita pasien yang akan berobat pada dokter tersebut. Maka, dengan adanya skripsi akan membuat kita yakin bahwa dokter yang melakukan praktik telah lulus dengan skripsi. Intelektualitasnya telah teruji.

Saya sendiri merasa, dengan menyusun skripsi saya sendiri, lalu berusaha mempertahankannya dihadapan para dosen penguji, lalu melakukan revisi. Saya merasa dengan itu tulisan-tulisan saya berkembang. Tanpa skripsi, tulisan saya yang hanya berupa gerutuan ini akan sangat amburadul. Walaupun, saya menyadari dan menyesali skripsi saya yang saya rasa kurang maksimal. Tapi setidaknya dengan menyusun skripsi, sebagai lulusan sastra tulisan saya menjadi lebih jelas.

Ketimpangan itu mungkin akan ada jika skripsi dihapuskan.

Mungkin saja wisudawan yang tidak menyusun skripsi akan menjadi sedikit "aneh" daripada wisudawan yang telah lulus skripsi. Bayangkan saja ada dua orang yang sedang duduk bersama. Satu telah menyusun skripsi, memaksa otaknya untuk berpikir, mencari data-data untuk skripsinya, dan melakukan revisi ketika berkonsultasi pada dosen pembimbing. Lalu satunya lagi, lulus begitu saja dengan tugas-tugas yang telah dikerjakan selama perkuliahan. Ah, sepertinya akan terkesan "aneh". Jika ada persoalan besar, maka saya akan lebih memilih berdiskusi dengan orang yang telah menyusun skripsi.

Berpikir kritis. Itu kata yang tepat. Mahasiswa yang menyusun skripsi, saya yakin mampu berpikir secara kritis. Juga tidak akan mengesampingkan detail-detail. Saya sendiri pada awal menyusun skripsi selalu bingung menyambungkan kalimat dari data sebelumnya ke data selanjutnya. Tapi karena menyusun skripsi setiap hari dan memaksa diri untuk berpikir, pada beberapa bulan setalahnya saya seperti memiliki chemistry dengan kata-kata. Chemistry dengan kata-kata itulah yang membantu saya menuangkan hasil berpikir saya.

Semoga saja skripsi tidak pernah dihapuskan.

Jika dihapuskan, tentu akan berdampak besar. Keraguan-keraguan masyarakat akan meningkat pada para wisudawan. Belum lagi jika wisudawan yang lulus setelah skripsi dihapuskan menjadi wakil rakyat. Bagaimana masyarakat bisa mempercayakan dirinya pada pemimpin yang tidak bisa diukur inteleknya.

Ah, saya menjadi merasa sungkan karena sok pintar dan menggurui. Tapi percayalah, saya juga menginginkan yang terbaik. Terlebih untuk pendidikan di negeri kita ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Perempuan dalam Mimpi

Ujung Hidungmu