Sastrawan dan Risetnya

 Aku tengah membaca Nagabumi Jurus Tanpa Bentuk karya Seno Gumira Ajidarma. Buku tersebut memiliki banyak sekali catatan kaki, yang tidak umum dijumpai di buku sastra. Ada perasaan baru sekaligus hebat dalam buku ini, aku tidak yakin ada penulis lain yang bisa dengan nyaman memasukkan catatan kaki pada buku sastra. Setidaknya dalam sekitar hampir seratus buku yang aku baca, tidak ada satu buku sastra yang menampilkan catatan kaki.

Sedikit untuk melanjutkan tentang Nagabumi, karena dalam tulisan ini tidak memberikan resensi Nagabumi. Untuk menikmati buku sastra dengan catatan kaki seperti Nagabumi ini sebaiknya sebagai pembaca kita memastikan kualitas penulisnya. Perasaan aneh muncul berbarengan dengan kagum karena ada catatan kaki yang begitu lengkap di buku sastra. Namun, perasaan aneh itu dapat menebal jika kita tidak tahu siapa penulisnya. Pendeknya, sepertinya kita sebagai penulis baru dalam bidang sastra tidak memakai catatan kaki karena pembaca akan merasa kerepotan.

Beberapa kali aku mendengar diskusi tentang sastra, juga tidak lazim memasukkan catatan kaki. Catatan kaki tidak begitu diperlukan dalam buku sastra. Hanya saja dalam satu siniar Leila Chudori ketika menanyakan itu kepada Seno Gumira Ajidarma menjawab bahwa itu juga merupakan bentuk kebebasan dalam sastra. Ah, memang sastra adalah bentuk bebas bagi penulis untuk menuangkan ekspresinya.

Kesan yang muncul dari catatan kaki dalam buku sastra ini tentunya adalah riset yang begitu detail tidak hanya mendalam. Memang, dalam menciptakan sastra diperlukan riset. Aku meyakini setiap penulis melakukan riset, baik disadari atau tidak disadari oleh penulis itu sendiri. Catatan kaki dalam buku sastra memberi pena tebal tentang riset penulis, meyakinkan bahwa data-data yang ia ambil, kemudian ia tuangkan dalam buku sastra, menjadi informasi yang membantu memahami tulisannya.

Dalam satu buku Nagabumi saja ada banyak referensi yang menjadi penjelasan dari catatan kaki. Lantas kita akan memahami bahwa buku tersebut ditulis tidak main-main, meskipun penulisnya sendiri mengatakan bentuk kebebasan sastra. Kita akan memahami kualitas Seno Gumira Ajidarma yang begitu mumpuni.

Ah, lamunan saya menjadi begitu jauh. Imajinasi saya tentang ide-ide baru yang gila menumpuk.

Mula-mula, saya membayangkan menulis tentang tahun 800-an seperti yang SGA tulis itu benar-benar bebas. Namun ternyata terdapat arsip-asrip yang begitu sulit dicari dan harus teliti untuk membacanya yang bisa digunakan sebagai acuan agar tidak meleset atau mengacaukan sejarah.

Menandakan bahwa penulis sastra atau sastrawan juga perlu belajar sejarah jika ingin menulis tema sejarah. Selebihnya, sastrawan juga harus belajar hal lain jika menulis tentang tema-tema lain. Jika ingin menulis tentang strata kelas, maka sastrawan harus belajar dan memahami ilmu sosiologi. Jika ingin menulis tema penyakit kejiwaan, maka sastrawan harus belajar dan memahami ilmu psikologi. Begitu terus-menerus selanjutnya, tergantung dengan tema yang sedang ditulis oleh sastrawan tersebut.

Agaknya, dalam kepala saya sekarang. Cita-cita menjadi sastrawan, maka harus banyak belajar dan memahami. Tidak bisa bermalas-malasan dan hanya mengandalkan perasaan saja. Kelak, saya ingin menjadi penulis yang berkualitas. Saya ingin pembaca tulisan saya nanti merasa bahwa membaca buku sastra bermanfaat untuknya, dalam hal kebaikan apa pun itu tentunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Perempuan dalam Mimpi

Ujung Hidungmu