Tentang Manusia dan AI

 Dicap melunturkan kreatifitas, mengendurkan ide asli manusia, sampai menjadi musuh bagi banyak orang. Apakah AI memang sejahat itu?

Dalam wikipedia, AI didefinisikan sebagai kecerdasan buatan atau akal imitasi adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah atau bisa disebut juga inteligensi artifisial atau hanya disingkat AI, didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah.

Sementara untuk AInya sendiri. Saya menanyainya langsung melalui chat gpt, apa itu AI? Dia menjawab, ... Jawabannya panjang. Aku tidak ingin mengubah kata-katanya. Jadi langsung saja, yang ditulis oleh AI alias ChatGPT seperti ini:

AI singkatan dari Artificial Intelligence, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Kecerdasan Buatan. Secara umum, AI merujuk pada kemampuan mesin atau komputer untuk melakukan tugas-tugas yang membutuhkan kecerdasan manusia. Ini termasuk pemecahan masalah, pengambilan keputusan, pengenalan pola, dan bahkan interaksi manusia-mesin.

Terdapat dua jenis utama dari AI:

AI Konvensional: Merupakan AI yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan cara yang telah ditentukan sebelumnya. Contoh dari AI konvensional termasuk sistem pakar (expert systems), yang menggunakan aturan-aturan yang telah ditentukan sebelumnya untuk membuat keputusan.

AI Modern: Merupakan jenis AI yang menggunakan pendekatan yang lebih maju, seperti machine learning dan deep learning. AI modern mampu belajar dari data yang diberikan dan meningkatkan kinerjanya seiring waktu tanpa perlu diatur ulang oleh manusia. Ini memungkinkan AI untuk mengenali pola-pola yang rumit dalam data, mengambil keputusan yang lebih kompleks, dan bahkan berinteraksi dengan manusia dalam cara yang semakin menyerupai interaksi manusia dengan sesama manusia.

AI memiliki banyak aplikasi dalam berbagai bidang, termasuk di antaranya pengolahan bahasa alami, pengenalan wajah, kendaraan otonom, diagnosis medis, dan banyak lagi. Seiring dengan perkembangan teknologi, AI terus berkembang dan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari di banyak aspek.

Bahkan, kalimat panjang itu dijabarkan oleh AI hanya dalam satu ketikan saja (Apa itu AI?). Serba cepat dan praktis. Berbeda jika kita meminta langsung itu kepada manusia. Beberapa orang yang mungkin tidak semahfum itu dengan AI akan menjawab dengan singkat dan setahunya saja. Tapi dalam bentuk AI, kita akan mendapatkan jawaban panjang dan terperinci.

Oke, mungkin itu tidak adil. Maka dengan keadilan yang katanya dijunjung tinggi oleh negaraku ini, meskipun penerapannya tidak seperti katanya.

Aku mencoba memberikan keadilan pada pertanyaan itu. Aku menanyai manusia, "apa itu manusia?" dan menanyai AI pertanyaan yang sama. Hasilnya? Memang, manusia tidak kompleks dan terperinci seperti penjelasan yang saya dapatkan dari AI. Tapi, aku lebih merasa senang dengan jawaban yang aku peroleh dari manusia.

Jawaban yang beragam dari manusia sesuai dengan kondisi yang ada. Coba saja kalau kamu ingin membuktikannya. Tanya pada tukang becak, apa itu manusia? Maka tukang becak itu akan menjawab manusia sebagaimana dalam pandangan tukang becak. Tanya juga pada mahasiswa, orang umum, ibu rumah tangga, dan manusia-manusia lainnya dengan pertanyaan itu. Maka jawaban yang beragam dan sesuai dengan apa yang dialami manusia itu lebih memuaskan daripada jawaban AI.

Aku beranggapan itu karena AI tidak memiliki perasaan atau sifat manusiawi yang membuat kita sebagai manusia merasa memiliki suatu keterikatan.

AI menjawab dengan kalimat terstruktur, tidak halus, dan tidak ada kesan emosinya. Hal itu membuat saya merasa tidak ingin membaca penjelasannya. Membuat saya tidak tertarik mendengarkan informasi yang diberikannya. Berbeda dengan manusia. Ketika kita berbicara dengan orang lain, maka kita akan merasakan emosi yang dimunculkan oleh orang lain juga emosi dari dalam diri kita yang diterima oleh orang lain. Berbicara dengan sesama manusia lebih mengasyikan, meskipun beberapa manusia juga menyebalkan.

Mengelaborasi perbedaan manusia dan AI dalam bentuk emosional. Manusia memiliki keterikatan batin dengan penciptanya, Tuhan. Dalam suatu agama, dikatakan bahwa manusia itu diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, salah satu alasannya karena memiliki nafsu.

AI tidak memiliki itu dengan penciptanya, manusia. Mungkin itu karena AI memiliki pencipta yang ternyata banyak, penciptanya ada yang labil, ada yang tantrum, ada yang mandi lumpur, dan sebagainya. AI yang dalam penciptaannya juga tidak memiliki nafsu, membuat AI tidak memiliki tujuan dan keinginan tersendiri.

Perbedaan itu menegaskan. AI lebih rendah daripada manusia. Jadi tidak perlu ditakutkan lagi tentang AI.

Kita para manusia dapat menggunakan AI atau memperalat AI sesuai dengan keinginan kita. Dalam hal ini, yang saya maksud adalah AI dapat digunakan sebagai assisten pribadi yang tak perlu dibayar.

Kita dapat menggunakan AI untuk sekedar memperluas ide. Dalam menuliskan esai ini contohnya. Sedang tidak ada manusia yang dapat saya tanyai tentang AI dan manusia. Maka ketika menuliskan ini, saya berdiskusi dengan ChatGPT yang menyebalkan dan tak punya perasaan itu. Tapi, setidaknya ada jawaban dari AI ketika ditanya tentang AI.

Begitulah saya memperalat AI dalam kalimat bercetak miring di atas. Sebagai manusia, sebaiknya tidak perlu takut tersisihkan. Karena AI adalah alat yang kita ciptakan. Kitalah penciptanya, meskipun sebagian dari kita (pencipta) ada yang mandi lumpur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi