Rajawali Api

 "Bayangkan aku harus menjadi pelacur?"

Di sebuah negara yang sangat nyaman sebagai tempat untuk bersantai dan berlibur. Di sebuah negara yang gunung dan pantai-pantainya sangat indah. Di sebuah negara subur yang kau bisa menanam apa saja, dan jangan pernah takut tidak akan tumbuh.

"Bayangkan aku harus menjadi pelacur?"

Lagi pula aku sudah memiliki suami. Memang kami belum mempunyai anak, tapi aku sudah memiliki suami.

Demi apa pun. Apa aku harus menjadi pelacur?

***

Mula-mula ini dikarenakan kejadian lima tahun yang lalu.

Saat aku baru lulus dari Sekolah Menengah, lalu mencari kerja sana-sini. Melamar, menunggu, wawancara, lalu kembali lagi mencari kerja sana-sini. Terus berulang dan sangat memuakan. Hingga aku taruh surat lamaranku, beserta ijazah, data diri, dan segala kebutuhan lainnya di perusahaan itu.

Sebuah perusahaan atau mungkin kelompok, yang aku tidak yakin bisa mengungkapkannya padamu. Karena aku menemukan pekerjaan ini bukan dari iklan TV, radio, atau koran. Toh, aku berani bertaruh pekerjaan ini tidak mungkin diiklankan. Lalu aku tahu pekerjaan ini dari mana? Aku tidak bisa mengatakannya. Ini adalah salah satu kode etik untuk pekerjaanku.

"Saat bekerja, kau bersedia menjadi apa pun?"

Sungguh, aku tidak tahu harus menjawab apa. Senang bukan main. Perusahaan ini menerimaku adalah sebuah karunia. Aku penasaran dan sedikit ragu dengan "menjadi apa pun". Tapi aku hanya butuh pekerjaan, aku hanya butuh uang untuk makan. Memang negeri ini nyaman, tapi hidupku jauh dari kata nyaman. Hidup seorang anak yang tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya.

"Pekerjaan ini sangat sulit! Kau juga harus menyembunyikan pekerjaanmu dari siapapun, termasuk orang tuamu!"

Sekali lagi, bukan masalah. Dari kecil aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku. Aku ada di panti asuhan itu sejak aku masih bayi, begitu kata ibu pengasuhku. Merahasiakan pekerjaan ini kepada ibu pengasuh bukan hal yang besar, aku sudah tidak tinggal lagi di panti asuhan itu. Aku menegaskan sekali lagi, aku hanya ingin melanjutkan hidup. Bekerja untuk mencari makan. Lalu, ya... seperti kehidupan manusia pada umumnya.

"Jangan harap setelah menerima pekerjaan ini kau bisa menjalankan kehidupan seperti sebelumnya." Ia melanjutkan, "Kau sangat cantik, masih polos, dan begitu memesona. Aku menyayangkan kau harus bekerja disini, tapi perusahaan ini membutuhkanmu. Jangan khawatir, aku bisa memolesmu lagi." Begitulah kurang lebih kata pimpinan atau HRD atau siapa pun orang yang mewawancaraiku saat itu.

Sebenarnya aku sedikit ragu-ragu. Selebihnya aku tekatkan hidupku. Aku butuh pekerjaan, aku butuh makan. Maka aku bersedia pada segala resikonya. Persetan dengan kehidupanku setelahnya.

***

Satu tahun pertama dalam pekerjaan, aku sangat menikmatinya. Bagaimana tidak? Anak muda yang masih begitu belia, melakukan hal yang hanya orang-orang bernyali lakukan. Bagaimna tidak? Anak muda yang dapat berakting seperti selebriti di TV sepanjang pekerjaannya. Bagaimana tidak? Memang pekerjaannya tidak menentu, tapi sekali bekerja bayarannya bisa sangat melebihi dari hanya sekedar sekarung beras.

Dosa? Maaf, bukan jobdesk-ku untuk memberikan penghakiman dosa atau tidak!

Aku suka pekerjaan ini.

Suatu ketika setelah aku selesai dari salah satu pekerjaanku, Pimpinan memanggilku. Dia hanya bertanya satu kata, "bagaimana?"

Dengan tersenyum aku katakan padanya, "aku sangat menyukainya, aku siap untuk pekerjaan selanjutnya lagi. Aku bisa tetap bekerja di sini sampai aku mati!" Begitu kira-kira yang aku katakan pada Pimpinan perusahaan ini.

"Ingatkah kau diawal dulu? Aku tidak bisa memberikan padamu pekerjaan ini sampai kau mati. Terlebih jika kau sudah tua. Aku tidak bisa memberikannya lagi!" Nadanya membentak. Tapi siapa peduli? Uang yang begitu banyak dengan mudah aku dapatkan.

Aku suka pekerjaan ini.

***

"Kali ini tugasmu cukup berat. Kau harus menarik perhatian Si Koruptor itu!"

"Yang mana?" Tanyaku, seakan-akan banyak koruptor di negeri ini dan "yang mana?" hanyalah salah satu dari banyaknya koruptor itu.

"Yang gendut, berkacamata, dan botak itu!"

Aku mengerti yang dimaksud oleh Pimpinan. Si Koruptor itu tengah menuai ketenarannya di televisi. Meskipun aku pastikan, aku jarang menonton televisi, tapi koruptor itu jelas sudah dikenal seluruh warga negeri ini. Fotonya yang tersenyum melambai ke media dengan baju tahanan menjadi gambar depan di setiap koran-koran. Sidang yang dilakukannya dengan cengengesan terekam jelas di setiap saluran televisi. Ia manusia biadab yang tak tahu malu.

Pimpinan mengatakan bahwa ia belum bisa dihukum, atau mungkin bisa saja lolos dari hukuman. Tapi untuk kami, kelompok perusahaan "Rajawali Api" keadilan harus tetap ditegakkan. Bagaimanapun caranya, apa pun caranya, keadilan harus tetap tegak. Tidak bisa bengkong barang hanya sedikit saja.

"Dia akan makan malam di sebuah restoran privat, kami sudah memesankanmu salah satu meja yang ada di dekatnya. Tarik perhatian koruptor itu, setidaknya sampai beberapa minggu ke depan kau akan mengerjakan tugas ini."

Aku tidak pernah tahu siapa nama Pimpinan ini. Salah satu cara menjaga kerahasiaannya adalah ia tidak pernah memberikan namanya. Aku hanya mengenali wajahnya yang ke-bapak-an. Umurnya sekitar lima puluhan tahun, ia benar-benar masih sangat tegap untuk umurnya.

Namun kali ini, untuk tugasnya yang kali ini. Menggali informasi tentang Si Koruptor biadab ini, aku merasa jiwa ke-bapak-annya hilang. Jiwa memanusiakannya berubah ketika dengan bersungut-sungut ia mengatakan padaku, "Aku tidak peduli dengan alasanmu. Sekalipun kau harus tidur dengannya, aku ingin informasi yang detail dan lengkap tentang Koruptor itu!"

Tidak. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Aku ingin mengatakan "tidak!".

Aku tahu aku telah dibentuk menjadi seorang pejuang di perusahaan ini, atau kelompok ini, atau apa saja kalian menyebutnya. Aku tetaplah seorang perempuan. Aku sudah menikah, dan tugas seberat ini apa harus aku yang mengerjakannya?

Ia tahu, aku juga tahu jika pimpinan sangat berpengalaman. Ia merasakan keenggananku. Seperti biasa ia meyakinkan setiap anggotanya sebelum melakukan tugas, "aku percaya padamu. Kau bisa melakukan ini. Rajawali Api mengandalkanmu, semua warga negeri ini akan berhutang kepadamu."

"Kecantikanmu yang menarik perhatian, menjadi salah satu alasanku menerimamu di pekerjaan ini."

Kalimatnya yang biasa menjadikan setiap anggota Rajawali Api percaya diri, kini menjadi kalimat paling menyebalkan yang pernah aku dengarkan.

***

Perihal aku telah bersuami?

Dua tahun yang lalu aku ditugaskan untuk menangkap seorang Gembong Narkoba yang suka mengedarkan barangnya pada anak-anak sekolah. Menjijikan. Ia tidak hanya merusak jiwa manusia, ia merusak penerus bangsa dari akar-akarnya.

Buktinya sudah lengkap, digali oleh seorang bocah. Aku tahu cara mendapatkan buktinya, tapi aku tidak mengerti cara Pimpinan merekrut anggota yang masih merupakan anak sekolah. Ia yang memberikan informasi dengan sangat terperinci mengenai Gembong Narkoba itu.

Ia menceritakan detail bagaimana barang haram itu diedarkan di sekolah. Ia memberikan rincian harga. Memberikan nama anak-anak yang terkait dengan Gembong Narkoba tersebut. Bahkan, yang paling hebat, ia memberikan barang itu sebagai bukti pada Pimpinan tanpa mencicipinya sedikit pun.

Sudah aku jelaskan bahwa, Rajawali Api bukanlah keanggotaan resmi. Dengan bukti yang sudah ada, keadilan akan ditegakan sendiri oleh Rajawali Api tanpa hakim. Aku menjadi pengeksekusi dalam kasus kali ini. Aku bukan petarung jarak jauh. Kemahiranku ada pada kelincahanku yang ditambah dengan dukungan pisau belati.

Tidak sulit mendekati Gembong Narkoba itu, terlebih ia begitu tinggi birahinya. Untuk aku yang merupakan seorang perempuan, mudah saja untuk mendekatinya, kemudian menggoreskan belatiku tepat di pangkal lehernya.

Aku terlepas tertawa ketika kepalanya hampir lepas dari badannya. Pisau belatiku terlalu tajam, dan ternyata aku menebas kepalanya bukan menggores. Menyisahkan kulit tipis di leher yang menjaga kepala gembong narkoba itu agar tidak terlepas.

Hahaha!

Aku yakin, kalian juga akan tertawa jika melihatnya secara langsung, sebab raut wajahnya juga sangat lucu. Raut wajah kaget karena lehernya ditebas, sebelum nyawa meninggalkannya ia melotot ngeri. Kepala yang bergelantungan hampir copot, menampilkan mata yang melotot, dan leher yang memuncarkan darah sungguh akan menjadi pemandangan paling lucu yang pernah kau lihat.

Aku tidak sendirian.

Aku mendengar tawa ringan itu di belakangku. Kelincahanku sekali lagi, menggapai sosok itu. Tapi sosok itu lebih lincah lagi, karena tanganku yang memegang belati dengan bekas darah ada digenggamannya. Tepat di depan wajahnya dan wajahku. Ia mengatakan, "kau menebasnya telalu semangat, Gembong Narkoba itu kini sangat lucu. Jauh dari kata menyeramkan."

Begitulah aku dan suamiku berkenalan.

Ia juga merupakan anggota Rajawali Api. Aku tidak mengenalnya sebelum kejadian tersebut, ia pun juga begitu. Hanya saja kami beberapa kali berpapasan ketika Pimpinan memberikan tugas.

Pada keanggotaan Rajawali Api dilarang untuk berbincang, sekalipun dalam satu tugas yang sama. Kami sesama anggota tidak akan berbincang lebih dari sekedar bekerja sama menyelesaikan tugas. Jika tugas sudah selesai, kami akan berpencar. Jika ada ketidak-sengajaan bertemu lagi sesama kawan yang pernah ditugaskan, kami tidak boleh saling menyapa.

Jadi bisa kau simpulkan sendiri. Menikah sesama anggota Rajawali Api adalah kebohongan terbesar yang aku lakukan bersama suamiku.

***

Aku tidak mungkin mengadukan rahasia tugas ini kepada suamiku. Meskipun saling menikah, kami yang sudah terbentuk untuk tidak saling bicara tetap seperti itu. Kami memang merasakan keakraban, tapi keakraban itu jarang disampaikan melalui kata-kata yang diucapkan.

Kami sama-sama saling mengerti dengan memahami bahwa, "rahasia tugas tidak boleh dibeberkan kepada siapapun."

Aku tidak pernah menyinggung persoalan tugas yang diberikan kepadanya, dan ia tidak pernah menyinggung perihal tugas yang diberikan kepadaku. Tapi kali ini aku ingin mengatakannya, aku ingin dia menanyaiku perihal tugasku.

Sudah aku putuskan tidak. Aku tidak ingin memberikan resiko yang sangat besar kepada suamiku.

Maka hari pertama pengingtaianku di restoran itu yang ternyata tidak terjadi apa-apa. Aku hanya sempat berbincang sedikit dengan Si Koruptor jelek itu. Kami bertukar nomor pribadi, saling menghubungi.

Konyol. setelah seminggu hal ini terus terjadi, aku lebih banyak berbincang dengan Si Koruptor jelek itu daripada suamiku sendiri. Aku dan Si Koruptor jelek itu semakin dekat. Banyak laporan yang terus aku ceritakan perkembangannya kepada Pimpinan. Tugas ini tetap berlangsung, dan aku mampu mempertahankan kehormatanku hanya untuk suamiku.

Sampai pada suatu hari yang sangat pahit.

Kedekatanku dengan Si Koruptor jelek itu menjadikannya lebih berani. Ia mengajakku pergi ke sebuah hotel, katanya untuk makan malam. Ia ingin aku datang di kamar nomor 1359, malam ini pukul 7.

Aku datang.

Aku rasa bukti-bukti yang aku laporkan sudah cukup. Aku putuskan sendiri, aku akan menghabisi Si Koruptor itu malam ini. Aku merasa harus mengambil keputusan besar dalam tugas ini. Konsekuensinya? Akan aku hadapi segalanya. Akan aku hadapi semuanya, asal kehormatanku tetap menjadi milik suamiku.

Aku memencet bel kamar 1359 pada malam pukul 7 lewat 2 menit. Aku tahu ia tengah menungguku, ia menungguku di dalam kamar itu.

Maka ketika kamar itu ia buka. Ia langsung menarikku masuk. Dengan sangat kurang ajar ia menciumi kedua pipiku, aku mendorongnya jatuh ke kasur ketika ia berusaha mencium bibirku.

Ia tertawa dengan sangat puas. Ia membuka kancing bajunya dengan sangat bergegas.

Aku tidak ingin menghabiskan waktu. Cara yang sama dengan yang aku lakukan pada Gembong Narkoba. Aku mengandalkan kelincahanku sendiri, mengambil belati yang sudah aku siapkan pada celana pendek tipis di balik dress merahku. Dengan sangat cepat, aku menggasak leher Si Koruptor jelek itu.

Hahaha!

"Grrrr..." Telepon yang ada di kantong celana Si Koruptor itu berbunyi.

Benar-benar sama, wajahnya yang panik dan kaget itu menyisahkan mata melotot menjelang ajalnya. Hanya saja kepalanya tidak tergantung, kepalanya tetap ada di atas tubuhnya. Ia masih sempat menarik tubuhku ke kasur, tapi tidak menyadari tanganku yang tengah mengambil belati. Karena itu, aku hanya berhasil menebas separuh dari leher gemuk itu.

Untuk menghormati suamiku, dan kehormatan yang aku jaga untuk suamiku. Maka aku mengiris lagi leher Si Koruptor itu dari tubuh yang telah mati. Aku menyisahkan sedikit kulit lehernya, kini kepala koruptor itu menjadi tergantung dengan wajah dan mata melototnya yang sangat lucu.

Persis sama dengan gembong narkoba yang aku tebas lehernya. Persis sama dengan mayat kali pertama aku dan suamiku berkenalan.

Hahaha!

"Grrrr..." Telepon itu bentunyi lagi.

Yang kali ini lebih lucu lagi, karena dengan sengaja aku tambahkan goresan. Bukan dengan sekali tebas kepalanya jadi tergantung-gantung. Jadi yang menambah kelucuan adalah bekas luka di leher koruptor itu berupa sayatan.

Ya, akan ku ceritakan pada suamiku nanti.

Kali ini aku siap menerima resiko apa pun termasuk menceritakan tugas ini kepada suamiku.

Hahaha!

"Grrrr..." Telepon Si Koruptor itu terus berbunyi. Aku mengambilnya.

Terpampang jelas foto anak kecil persis suamiku. Aku bisa membayangkan dengan jelas. Nanti jika aku dan suamiku sudah memiliki anak, wajahnya akan sangat mirip dengan anak kecil yang ada di foto itu.

Telepon itu memunculkan nama, "Bimbi." Nama yang aku dengar pertama kali sejak aku dan suamiku berkenalan, setelah aku menebas tenggorokan si gembong narkoba.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi