Ya, Nona?

 Ya, Nona.

Di sinilah kamu membaca suratku.

Surat yang ditulis oleh laki-laki berusia 22 tahun kepada seorang gadis berusia 18 tahun. Ya, Nona. Kamu tahu ini bukan masalah tentang perbedaan umur.

Sebelum aku memulainya. Maaf, aku ingin mengingatkanmu pada kejadian buruk terakhir kali kita bertemu. Apa kamu masih mengingat kita dalam pertengkaran malam itu? Ah, terlalu berlebihan ya, kalau itu aku sebut sebagai pertengkaran? Baiklah, hanya perdebatan.

"Biarkan aku pergi."

Kalimat itu yang aku katakan. Kalimat itu yang diucapkan oleh laki-laki berusia 18 tahun. Kalimat itu yang menciptakan laki-laki yang kini berusia 22 tahun. Kalimat itu yang menjadi awal perjalanan hidup selama 4 tahun yang telah terjadi.

Aku bilang padamu. Kalau aku tidak bisa mengambil keputusan yang terlalu besar dengan berjanji, "kita akan selalu bersama." Aku bilang bahwa aku masih terlalu muda, dan kamu juga masih terlalu muda, kita masih terlalu kecil untuk mengucapkan kata, "selamanya."

Kalau boleh ku ungkapkan apa yang aku rasakan waktu itu. Aku juga ingin selamanya. Aku ingin selalu bersama, sampai kita sama-sama menua.

Aku membayangkan. Ah, tidak. Maksudku, aku mempunyai rencana yang cukup usil.

Di umur 18 kita sudah lulus dari SMA. Lalu kita sama-sama masuk ke perguruan tinggi. Kita akan saling mendukung, saling memberikan semangat, dan saling mengingatkan pada apa yang sedang kita lakukan. Ya, seperti yang telah kita lakukan.

Lalu kita sama-sama lulus di umur 22. Umur di mana aku menulis surat ini sekarang. Kita lulus, lalu kita mencari pekerjaan, memenuhi mimpi-mimpi kita, mencapai cita-cita kita. Sekali lagi, dengan saling mendukung, saling memberikan semangat, dan saling mengingatkan.

Hingga akhirnya semuanya tercapai. Kita bekerja sesuai dengan apa yang kita cita-citakan, dan kita masih selalu bersama-sama. Dengan tetap saling mendukung, saling memberikan semangat, dan saling mengingatkan. Lalu kita menikah.

Menikah. Lalu aku menjadi bapak dan kamu menjadi ibu dari anak-anak kita. Menua. Anak-anak kita menjadi remaja, dewasa, lalu kita memiliki cucu. Hingga akhirnya, Tuhan memanggil kita. Kita yang selamanya. Selamanya yang sangat indah.

Sungguh itu sebuah recana paling usil dan paling indah yang pernah aku bayangkan. Hingga pada suatu hari kamu meberikanku sebuah kado. Sebuah kejutan yang sangat menggembirakan. Aku sangat senang dengan kado yang telah kamu berikan.

Di umurku yang 22 tahun ini sekarang. Aku masih memakainya. Pada pergelangan tangan kiriku, jam tangan darimu. Jam tangan yang mengubah cara pandangku pada kata, "selamanya."

Mula-mula aku bayangkan hidup yang membahagiakan selamanya bersamamu. Lalu jam tangan kejutan ini datang. Jangan tangan yang sangat melebihi dari sekedar kebahagaiaan!

Lalu aku berpikir. Bagiamana kalau hidup tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan? Bagaimana jika hidup menghadirkan kejutan-kejutan selanjutnya? Bagaimana jika kita tidak selamanya?

Di situlah kita bertengkar hebat. Di situlah tidak ada lagi kita. Kita yang saling mendukung, saling memberikan semangat, dan saling mengingatkan. Tapi, di situlah aku menjalani kejutan-kejutan selama 4 tahun ini.

Aku telah menjalani hidup dengan beberapa kali berganti pasangan. Berganti pasangan berarti berganti orang. Dengan ditemani oleh orang yang berganti-ganti itu, aku jadi mengerti banyak hal.

Aku tidak akan pernah mengerti tentang bagaimana rasanya memakai kacamata, kalau saja aku tidak pernah berkencan dengan perempuan yang berkacamata itu. Aku tidak akan pernah mengerti tentang bagaimana rasanya menjadi pegiat alam. Aku tidak akan pernah mengerti rasanya tentang bagaimana rasanya menjadi seorang perantau. Dan lain-lain, dan lain-lain, dan lainnya. Segalanya, yang membentuk aku selama 4 tahun ini.

Itu semua penuh dengan kejutan. Tentunya tidak semua kejutan menyenangkan. Ada juga kejutan yang sampai melemparku ke dasar jurang!

Ya, Nona. Di sinilah aku, dan mengapa surat ini aku tulis untukmu.

Aku sudah menjawab tentang bagaimana jika aku mengingkan kejutan lainnya? Banyak kejutan. Semuanya telah aku lalui. Hingga aku merasa, ah, ternyata kejutan juga itu-itu saja.

Lalu ketika aku duduk di teras rumah. Muncul beberapa pertanyaan di kepalaku.

"Apa kabar Nona? Boleh aku bertanya? Kepada kita yang saling mendukung, kita yang saling meberikan semangat, kita yang saling mengingatkan. Bagaimana rasanya kalau kita selalu berasama-sama? Bagaimana rasanya kalau kita selamanya?"

Ya, Nona?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi