Tiga Mimpi Bimbi

 Bimbi kecil berlarian, bertelanjang kaki di atas hamparan sabana hijau. Ia menunduk, melihat kakinya yang terasa geli di atas rerumputan. Kemudian ia berjongkok, memperhatikan bunga matahari kuning mekar sempurna. Ia mengambil bunga-bunga tersebut satu-persatu. Ia kumpulkan sampai menjadi untaian bunga matahari yang indah. Bagi tangannya yang mungil untaian bunga itu sudah sangat banyak, maka ia berlari kembali ke arah Ibunya memberikan untaian bunga tersebut.

"Buat Mama." Bimbi tersenyum sangat tulus.

"Terima kasih banyak, Sayang." Kita tahu, Ibunya bisa saja mengumpulkan bunga-bunga matahari itu sendiri. Tapi cinta seorang anak? Apa yang kita tahu? Hanya untaian bunga matahari yang dikumpulkan Bimbi, yang mampu memahaminya.

"Mama senang sama bunga-bunganya?"

"Lebih dari sekedar senang, Sayang. Mama menyayangimu."

"Aku juga sayang sama Mama."

"Gak ada yang bisa Mama kasih buat Bimbi, Mama gak bawa apa-apa."

"Gak papa, Ma. Mama bawa sesuatu yang lebih besar. Sangat besar. Mama selalu bawa doa. Doakan aku Ma." Senyuman Bimbi adalah bentuk ketulusan rasa sayang seorang anak kepada Ibunya.

Ibunya juga tersenyum melihat kepandaian anaknya berbicara. Ibunya berlutut agar bisa memeluk Bimbi kecil dengan nyaman. Lalu Ibunya berbisik, "Nanti kalau sudah besar, Bimbi ingin menjadi apa?"

***

"Bimbi pengen jadi dokter, Ma."

Maka hamparan luas sabana hijau itu berubah menjadi rumah sakit yang sangat besar. Rumah sakit yang sangat mewah dengan peralatan yang sangat lengkap. Si Ibu memeluk Bimbi yang sudah berseragam dokter. Seragamnya putih, bersih, dan Bimbi yang sekarang memakai kacamata.

Perlahan Si Ibu melepaskan pelukannya. Ia menatap Bimbi, dengan senyuman yang mengharukan.

"Mama sangat bangga sama Bimbi."

Si Ibu merasakan kebanggaan lebih, anaknya sudah menjadi dokter. Anaknya dapat membantu orang-orang yang sakit.

Bimbi balas tersenyum ketika Si Ibu melihatnya dengan tatapan bangga. Tidak ada yang bisa dikatakan Bimbi. Hanya tersenyum. Ia tidak mempu memperlihatkan rasa sayangnya lagi, lebih-lebih dalam bentuk untaian bunga seperti yang dulu ia lakukan. Ia tidak mampu lagi melakukan itu.

Bimbi yang seorang dokter itu berbincang dengan malaikat utusan Tuhan. Bimbi memohon agar pasiennya diberi pertolongan oleh Tuhan. Dan melalui Bimbi lah pertolongan Tuhan itu diberikan. 

Dalam bayangan samar, Bimbi dewasa yang sudah menjadi dokter itu pun memudar. Perlahan menghilang. Rumah sakit besar dan megah itu putih menyilaukan. Si Ibu menutup mata karena silau, dan dihadapannya kembali sabana rumput yang sangat luas.

***

"Bimbi pengen menjadi pilot, Ma."

Sekarang Si Ibu berada di dalam rumah. Ia terhubung melalui video kepada anaknya di sebrang sana. Dalam handphone tersebut Si Ibu melihat Bimbi dengan sangat mempesona memakai seragam putih milik pilot.

"Mama sangat bangga sama Bimbi."

Bimbi tidak membalas ucapan itu. Tidak ada suara darinya. Mungkin kata-kata sangat terbatas, dan Bimbi tidak bisa menyampaikan rasa sayangnya dalam bentuk kata-kata. Doa yang dipanjatkan Ibunya-lah yang membuat ia mencapai titik ini sekarang. Berkat doa itu ia dapat terbang mengelilingi dunia. Dan kata-kata. Kata-kata tidak bisa membalas semua doa itu.

Seperti yang dibayangkan Ibunya dulu. Bimbi ingin menjadi pilot karena ia ingin mengelilingi dunia. Bimbi mengelilingi dunia tujuh kali, tujuh hari, dan tujuh malam. Tanpa henti, karena setiap ia berhenti akan ada penumpang lain yang ingin diantarkan lagi. Begitulah Bimbi. Istirahatnya hanya antara waktu tunggu penumpang dan bisa mendapatkan istirahat yang lebih dengan alasan, "keterlambatan pesawat, penumpang dimohon untuk tetap bersabar."

Lalu koneksi pada handphone tersebut hilang. Sambungan video antara Si Ibu dan Bimbi terputus. Hanya layar handphone dengan foto masa kecil Bimbi yang terpampang. Lalu dalam-dalam, Si Ibu membayayangkan anaknya menerbangkan pesawat dan melaju mengelilingi dunia.

***

"Bimbi pengen menjadi tentara, Ma"

Bimbi dewasa sangat gagah. Terlampau gagah. Tubuhnya bidang tegap, dengan potongan rambut cepak rapi. Si Ibu melihatnya dengan membayangkan beberapa gadis tertarik dengan anaknya. Bimbi yang menjadi seorang terntara.

Si Ibu memegang erat lengan Bimbi yang kini berotot. Ia tersenyum kepada Bimbi. Lalu tertawa sambil mengatakan, "Sepertinya banyak yang ingin menjadi menantu Mama nantinya." Bimbi tersenyum mendengarkan ucapan ibunya. 

Seperti itulah Bimbi, selalu tersenyum sejak ia masih kecil. Bahkan dalam bayangan Ibunya, Bimbi akan tersenyum kepada semua orang. Bimbi tersenyum kepada kawan, Bimbi juga tersenyum kepada lawan. Jika Bimbi menolong kawannya, maka yang terjadi adalah senyuman tulus penuh pertolongan. Jika Bimbi melihat lawannya sekarat, sepersekian detik akan mati. Maka itu adalah senyuman Pencabut Nyawa yang mengatakan, "maaf aku tidak bisa menolongmu, lawan."

"Apapun itu, Mama sangat bangga sama Bimbi." Si Ibu hendak tersenyum, tapi ia merasa heran.

Seharusnya tidak seperti dua mimpi sebelumnya, Bimbi yang menjadi dokter atau pilot. Untuk mimpi yang ketiga, Seragam tentara tak seharusnya berwarna putih. "Bimbi ..."

...

***

Bimbi tak pernah berhenti tersenyum. Dan Bimbi tetaplah anak kecil di sabana luas itu, atau setidaknya belum pernah menjadi manusia besar seperti bayangan Ibunya. Bimbi kecil tersenyum persis seperti apa yang ada dalam layar handphone Ibunya. Ketika dalam kalimat terakhirnya ia mengatakan. "Bimbi pengen masuk Surga, Ma."

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi