Memotong Ego

 Aku berencana untuk membuat akun tik-tok. Aku ingin mendapatkan capaian yang lebih gede daripada apa yang aku tulis di sini, di blog yang teman-teman baca sekarang ini.

Sebenarnya rencana ini sudah ada sejak lama. Saya ingin membacakan puisi saya atau saya ingin membagikannya saja dalam bentuk tulisan. Dengan alasan, kalau sekedar dibagikan di blog reach-nya beneran kecil banget, cuma tik-tok yang akan bisa langsung meledak viewersnya.

Didorong dari ide tersebut dan dibantu oleh curhatan ke temen-temen, sangat disarankan untuk bikin tik-tok.

Lalu hari ini, sebelum membagikan puisi. Saya memutuskan untuk memperdalam pengetahuan tentang tik-tok. Saya mencoba mencari dengan kata kunci, "puisi", "sastra", "buku", dll yang berbau puisi.

Hasilnya, saya melihat banyak sekali puisi yang dibagikan oleh orang-orang. Banyak juga penonton dari konten-konten puisi tersebut. Hal itu menjadikan saya sangat tertarik untuk membuat akun tik-tok dan membagikan puisi juga seperti itu.

Munculah keinginan untuk melihat respon dari penonton konten puisi di tik-tok. Saya membuka kolom komentar, dan yang paling atas dari itu semua kalimat-kalimat seperti berikut:

1. Izin copas buat tugas.

2. Maknanya apa ya kak? buat tugas.

Dan semua itu tertuliskan dalam setiap konten-konten puisi yang muncul di pencarian. Saya menarik napas panjang untuk ini.

Lalu terdapat dua respon juga dari para pembuat konten puisi di tik-tok. Responnya kontras, berbeda dengan penonton yang sangat ingin menjiplak untuk tugas.

1. Penulis puisi yang membiarkan tulisannya dijiplak.

Penulis ini membiarkan karyanya dijiplak, diambil oleh orang lain dengan cuma-cuma dan hanya mengatakan, "jangan lupa difollow ya kak"

2. Penulis yang mempertahankan karyanya.

Penulis yang seperti ini merespon para penjiplak tugas untuk sekolah dengan, "gaboleh kan punya orang masa dipake untuk tugas pribadi, menjiplak atuh namanya"

Saya mengerti inti dari semua itu adalah, seperti inilah yang memang terjadi. Perkembangan dunia menjadi lebih modern, apa pun itu seharusnya beradaptasi saja.

***

Saya pernah mengalami keduanya, saat blog ini pada awal semester berisi banyak sekali puisi. Dari banyak puisi itu, ada seorang teman yang meminta puisi saya. Karena itu teman saya, maka saya membolehkan.

Lalu saya tanya ke dia, "emangnya ada tugas puisi ya?" Maklum saja. Saya bukan orang teliti, saya sering banget ceroboh perihal tugas.

Teman saya menjawab, "buat temenku Gad, dia ada tugas bikin puisi."

Di situ saya kecewa. Saya mau bilang itu penjiplakan, itu pembajakan karya, tapi saya siapa. Saya belum menjadi orang yang punya nama kuat sebagai penulis, saya belum punya buku, saya merasa bukan siapa-siapa untuk membentengi karya saya sendiri.

Saya mencoba berpikir positif. Dengan cara seperti ini mungkin tulisan-tulisan saya bisa dibaca oleh orang lain, memperluas capaian tulisan-tulisan saya. Puisi-puisi saya dikenal banyak orang. Tapi tunggu... tunggu... Semua itu, semua puisi-puisiku tersebar tanpa namaku?

Kalimat yang terakhir itu membuat saya kembali sedih.

***

Maka saya kembali pada perdebatan dalam diri saya. Membagikannya ke tik-tok atau sudahlah begini-begini saja.

Saya merasa menemukan jalan tengah dalam perenungan saya.

Saya akan memotong ego sendiri dengan jalan tengah yang saya berani ambil resikonya. Jalan tengah yang fair menurut saya.

Saya akan tetap membuat konten di tik-tok tersebut. Konten yang sangat jauh dari passion saya yang menulis puisi dengan cara story telling. Konten yang saya pikirkan adalah, tulisan singkat tapi puitis. (quotes)

Beginilah jalan tengah saya, jalan yang saya ambil dengan memotong ego. Tetap berkarya untuk diri sendiri dan orang lain, dan melindungi karya-karya saya dari penjiplakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi