Kebahagiaan Bagian 1

 Saya baru beberapa bab membaca buku Eric Wainer berjudul The Geography of Bliss. Buku tersebut berisi petualangan Eric Wainer keliling dunia dan menerjemahkan apa itu kebahagiaan. Saya ingin menuliskan disini sebagian opini dan diskusi yang saya lakukan dengan teman-teman.

Apakah isi tulisan ini menggambarkan buku tersebut? Tidak secara keseluruhan. Dan dalam tiga bab awal yang sudah saya baca, rupanya tidak akan membahas tentang itu. Saya tidak akan menjiplak buku tersebut karena saya menghargai buku (karya) tersebut. Jika ingin mengetahui isi bukunya silakan membaca buku orisinalnya.

Mula-mula saya hanya mengambil kata "kebahagiaan" untuk didiskusikan dengan kedua teman saya. Kami bertiga memiliki definisi bahagia masing-masing. Tapi, dalam diskusi tersebut bisa ditarik benang merah yang memisahkannya:
1. Bahagia itu kekayaan
2. Bahagia itu rasa syukur

Jika kaya raya, memiliki banyak harta, serba nyaman, maka kita akan mencapai kebahagiaan. Begitulah anggapan "bahagia itu kekayaan". Banyak harta pasti bikin bahagia. Seperti candaan buruk: Kita lebih bahagia macet di dalam mobil BMW baru yang ber-AC dingin, tempat duduk nyaman, dan look yang mewah. Daripada macet di dalam mobil lawas, dengan AC mati, tempat duduk menyakitkan pantat beserta punggung, dan mobil berpenampilan ringkih yang sepersekian detik mungkin akan meledak.

Kekayaan mempermudah segalanya. Apa yang kita inginkan dengan mudah tercapai dengan adanya kekayaan. Dalam artian kekayaan mencukupi segala kebutuhan kita. Bahkan kekayaan yang berlebih akan membuat kita tampak mewah bukan? Kita akan menjadi ekspetasi dari segala kehidupan yang dibagikan orang-orang dalam sosial media.

Lalu dalam oposisi teman saya menganalogikan "puasa". Kita puasa menahan lapar (kurang bahagia), ketika azan berkumandang kita akan berbuka (bahagia). Anggap saja kekayaan itu sama seperti kita waktu berbuka puasa. Jika berbuka dengan porsi yang pas, kita akan bahagia karena menghilangkan rasa lapar. Tapi jika berbuka puasa dengan porsi yang berlebihan, kita akan merasa sakit perut (kekenyangan).

Maka dalam artian seperti ini kita akan dimasukkan kedalam definisi bahagia itu rasa syukur. Mensyukuri segala bentuk apa yang kita dapatkan adalah bentuk suatu kebahagiaan. Apakah mencapai bahagia yang seperti itu mudah? Tidak.

Teman saya mengatakan. Cara yang lebih mudah untuk mencapai kebahagiaan itu rasa syukur adalah melihat ke bawah. Dalam artian yang masih sama tentang bahagia itu kekayaan, "melihat ke bawah" artinya pasti ada orang yang kurang beruntung dan berada di bawah kita. Lalu kita akan bersyukur, dan kebahagiaan tercapai.

Saya tidak akan menyangkal itu. Teman-teman pembaca tulisan ini, pasti kalian sudah dapat menarik kesimpulan. Satu teman saya yang bersyukur itu dalam pandangan saya dan mungkin teman-teman sekalian, dia adalah orang yang lebih agamais. Dalam pandangan saya, dia lebih berpeluang masuk surga daripada saya.

Salah satu teman saya itu berada di lingkungan pondok pesantren, dan bisa ditafsirkan tumbuh di lingkungan yang lebih agamais. Bentuk kebahagiaan melalui rasa bersyukur ini lebih pasti, di umur kita yang sangat tidak pasti. Lalu saya mengatakan kepada kedua teman saya, saya mempunyai opini lain dalam hal ini.

Dalam diskusi ini, saya sebenarnya berada di pihak "bahagia itu kekayaan". Walau hanya dalam hitungan beberapa bulan saja, saya juga pernah ada dalam lingkungan pondok pesantren. Saya menyampaikan kepada kedua teman saya:

Jika saya kaya raya, saya akan bahagia. Saya setuju dengan "bahagia itu kekayaan" dengan gambaran seperti yang sudah kita diskusikan. Saya belum mencapai semua itu. Pada saat ini, saya berusaha untuk mencapai kekayaan. Tapi saya juga takut, jika saya mati dalam usaha ini. Umur tidak ada yang tahu. Jika saya mati dalam keadaan seperti ini, sepertinya saya menjadi manusia terkutuk yang mati kurang bahagia. Saya tidak ingin mati, saya ingin bahagia.

Lalu, apakah saya bersyukur dan merasa bahagia? Dalam pandangan saya. Dari barometer kebahagiaan itu kekayaan. Saya pernah berada di lingkungan pondok. Saya melihat orang-orang yang penuh dengan rasa syukur, saya juga ikut bersyukur untuk apa yang sudah saya miliki. Apakah saya bahagia? Bisa saya katakan, bersyukur membuat saya merasakan "ketenangan jiwa". Dan saya rasa, berbeda antara "ketenangan jiwa" dan "bahagia".

Kami bertiga pulang.

***

Di perjalan pulang, saya melewati pabrik rokok. Aroma tembakau tercium sampai di jalanan. Saya bukan perokok. Tapi, melalui aroma tersebut tiba-tiba membawa saya kepada masa kecil saya. Saya tidak ingat betul memori yang terbawa, "saat mencium bau seperti ini dulu saya masih kecil dan merasa bahagia."

Lho?

Lalu ada kebahagiaan lain. Orang yang sedang berulang tahun, akan bahagia jika diberi kado.

Lalu ada kebahagiaan lain. Anak muda yang sedang berpacaran mengatakan, "aku bahagia sama kamu."

Lalu akan ada "Kebahagiaan Bagian 2"? ... 

Ini hanya opini saya "Kebahagiaan Bagian 1"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi