Entah Masih Menungguku di Depan Gang?

 "Bimbi yang manis, Bimbi yang merupakan seorang gitaris. Apa kamu masih memainkan gitarmu di depan gang? Bimbi yang puitis, Bimbi yang merupakan seorang gitaris. Apa kamu masih menungguku menghadap ke Selatan?"

Aku akan pulang satu bulan lagi. 1 Maret, aku akan berada di kampung kita. Aku bayangkan keindahan itu, aku akan melihatmu di depan gang menyambutku dengan nyanyian lagu yang kamu ciptakan sendiri. Aku tahu lagu itu kamu ciptakan untukku, khusus untukku, dan hanya untukku. Bimbi, aku mencintaimu.

Australia sepuluh tahun ini sudah cukup untukku. Sudah cukup aku menjadi sekretaris sebuah perusahaan yang ngomongnya was-wes-wos pakai Bahasa Inggris. Awalnya aku cukup gagu untuk berbicara dengan bahasa Inggris, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku harus puasa bicara sampai sepuluh tahun ke depan? Aku paksakan saja. Aku bicara menggunakan bahasa Inggris.

Bahasa Inggris susahnya minta ampun Bim. Apa lagi untuk kita yang berasal dari kampung, kita sudah terbiasa dengan aksen medok kita yang kalau-kalau berbicara dengan bahasa Inggris akan tetap medok juga. "Excuse me, Sir. Can I help you?"

Jangan khawatir Bim, kalau aku kembali nanti ... Aku tidak akan kehilangan aksen Jowo-ku kok. Aku pancet wong Jowo Bim. Nek Jowo-ku ilang mosok yo enak dirungokno misuhku? At least, cukup boso Inggrisku seng aksen jowo. misuhku yo ojo sampe dadi aksen Ostrali.

Bim, aku bingung harus membawa oleh-oleh apa dari Australia. Yang kamu tahu pasti kangguru, koala, dan suku Aborigin kan? Itu yang banyak dikenalkan oleh guru waktu kita masih SD. Tapi aku gak mungkin, bawa oleh-oleh "seseorang" dari suku Aborigin. Em, apa aku bawa saja kangguru dan koala? Oh, enggak-enggak, aku masih ingin jadi istrimu nanti di Indonesia, daripada dipenjara karena penyelundupan satwa.

Oh aku ingat! kamu pernah berpesan kepadaku, sebelum aku berangkat ke Australia. Di Bandara dengan memelukku dan kamu juga menangis, kamu bilang, "Australia jauh, komunikasi kita juga terbatas telepon. Telepon juga pasti mahal. Jadi simpan saja ceritamu, nanti kalau kamu sudah pulang, bawakan aku ceritamu!" Air matamu masih ada di pipi ketika kamu mengatakan itu, tapi bibirmu tersenyum.

"Akan aku catat! Tenang saja, semuanya bisa tercatat dengan rapi oleh sekretaris sehebat aku!" Kita tersenyum lebih lebar lagi meskipun air mata tetap membasahi pipi kita. Lalu kamu memelukku lagi, kamu terus memelekku, rasanya kamu tidak ingin aku pergi. Kamu belum puas memelukku sampai seorang petugas bandara memanggilku karena pesawatku segera terbang.

Ya, ya. Aku ingat itu. Aku sekretaris terhebat! Setidaknya sekretaris paling hebat di dunia yang kamu kenal. Ya, kan Bim?

Aku kumpulkan lagi. Aku rapikan lagi catatan-catatanku yang ternyata sudah bertimbunan banyak seperti sebuah gunung yang aku ciptakan dari tumpukkan kertas. Yang pertama, di tumpukan paling "bawah", awalnya aku ingin menceritakan semuanya yang terjadi kepadamu Bim. Karena itu awal-awal aku tiba di Australia dan semuanya sangat layak untuk diceritakan.

Lalu yang kedua, di bagian "tengah" gunung kertas itu. Hanya tumpukan catatan cerita-cerita yang ingin aku ceritakan kepadamu. Karena sudah terbentuk suatu kebiasaan, yang rasanya hanya akan mengulang tumpukkan cerita paling dasar jika aku ceritakan keseharianku. Aku takut kamu sudah bosan dengan tumpukkan cerita paling awal.

Dan yang terakhir, tumpukkan paling atas "pucuk" gunung kertas itu adalah catatan ceritaku selama satu atau dua tahun terakhir ini. Aku mulai banyak teman, lalu banyak waktuku yang aku habiskan untuk teman-temanku. Dengan mereka, rasa kangen ke kamu bisa sedikit terobati. Jadi catatan paling puncak adalah catatan cerita yang mungkin isinya adalah rengekanku yang tidak tahan lagi menahan rasa kangen ke kamu.

Ah, Bimbi. Aku akan membawakan semuanya untukmu, yang aku tulis untukmu, khusus untukmu, dan hanya untukmu, satu bulan lagi! Satu bulan lagi ...

***

Aku sudah ada di bandara dengan semua barang bawaanku. Aku bawa dua koper, baju-bajuku, barang-barangku, dan oleh-oleh untuk keluargaku, aku bawa di koper sebelah kanan. Dan kertas-kertas berisi cerita untukmu aku bawa di sebelah kiri. Sudah aku cek berkali-kali sebelum aku tidur, pagi sebelum berangkat ke bandara, dan ketika aku tiba di bandara. Semuanya aman, tidak ada yang ketinggalan. Barang satu lembar cerita saja, aku pastikan tidak ada yang ketinggalan.

Aku lihat sebuah jam besar di Bandara itu. Masih pukul delapan pagi, masih ada satu jam untukku untuk berpamitan dan merasakan sedihnya perpisahan dengan teman-temanku. Aku tidak akan mencatat yang ini Bimbi, aku akan menceritakannya langsung kepadamu nanti kalau kita sudah bertemu.

Jam 8:40, jam di bandara itu sungguh sangat membantu. Aku lupa jam tanganku sudah mati sejak dua hari yang lalu, gak ada waktu lagi buat membenahinya. Aku tarik dua koperku di kanan dan kiri, lalu masuk ke dalam lorong menuju pesawat.

Perempuan di pintu pesawat itu menanyaiku, "Maaf, Apakah Ibu perlu bantuan?"

Aku tahu kenapa ia memanggilku ibu. Karena umurku, dan itu ia lakukan untuk menghormatiku. Panggilan seperti itu semakin membuatku sadar, bahwa aku sudah sepuluh tahun di Australia. Untuk seumuranku, sudah selazimnya untuk menikah. "Oh, tidak mbak. Saya bisa sendiri, terima kasih!" aku ucapkan dengan membalas senyumannya.

Aku duduk di kursi nomor 18 A. Kursi pojok sebelah kiri yang memang sengaja aku pesan agar aku bisa melihat keluar jendela, melihat awan. Atau mungkin saja aku bisa melihat kamu, duduk di depan gang menungguku pulang karena ini sudah sepuluh tahun. Kamu tahu dan kamu ingat, kalau hari ini aku akan pulang. Meskipun aku sengaja tidak mengabarimu agar terasa seperti kejutan.

***

Di atas awan rasanya segalanya serba lambat. Bumi, daratan, lautan, hijau, biru, seperti diam dan pesawat tak bergerak. Apakah pesawatku mogok? Baru kali kedua ini aku naik pesawat. Aku tidak tahu kenapa pesawat bisa mogok? Kiranya apakah ada bengkel pesawat di atas awan?

"Pesawatnya macet!" Orang disebelahku berteriak. Sontak semua orang menoleh ke arahnya, ia mengintip dari sebelah kananku ke arah jendela. Aku tatap lagi jendela di sebelah kiriku, benar saja. Benda-benda di bawah sana tak bergerak lagi, pesawatnya mogok!

Lalu penumpang lainnya panik. Aku tidak mengerti kenapa harus panik? Apakah bengkel pesawatnya masih jauh? Tidak bisakah montir pesawat itu datang lalu menderek pesawat kami ke bengkelnya? Di dalam pesawat ini semuanya panik. Sangat panik.

Samar-samar aku dengar di ujung depan seorang anak yang masih memandang keluar jendela. "Bu, ada orang terbang naik burung!" Katanya kepada si Ibu. Dalam kepanikan, seisi pesawat tertawa mendengar kepolosan sang anak. Penumpang, pramugari, sampai pilot-pilotnya pun tertawa.

Memang, jika dipikir menggunakan logika. Apa yang dikatakan anak itu mustahil adanya, dunia anak yang penuh khayalan. Tapi, konon katanya, jauh diluar sana, oleh pembaca sekalian, apa yang dikatakan anak itu dianggap benar adanya.

Kalang-kabut, penumpang lari kesana-kemari. Mereka berteriak-teriak ngeri, seakan ajal sudah di depan mata. Jatuhnya pesawat mogok ini akan menjadi berita utama koran-koran, radio, dan televisi.

Ah, ketakutan memang menular Bim!

Aku juga mulai panik. Bagaimana jika aku mati dan catatan-catatan cerita ini tidak pernah tersampaikan kepadamu? Apakah kamu masih akan menunggu di depan gang dengan gitar dan nyanyianmu, Bim? Apakah kamu masih mencintaiku, Bim?

"Penumpang yang terhormat, dimohon untuk tidak panik!" Pramugari itu bermaksud menenangkan dengan suara yang juga ketakutan. "Pesawat ini jadi oleng jika penumpang yang terhormat lari kesana-kemari, pesawat ini bergoyang-goyang di udara!" Pramugari itu menangis!

Dalam kepanikan, aku merogoh koper berisi catatan cerita. Aku mengambil satu kertas kosong dan ingin kuceritakan padamu tentang pesawat mogok ini. Hingga aku sadar, ketika aku ingin menambahkan jam pada ceritaku, ternyata aku tidak tahu waktu. Aku tidak tahu sekarang jam berapa, sejak dari bandara tadi. Karena aku tidak memakai jam.

Sampai kapan pesawatku akan terus mogok dan penuh kepanikan seperti ini? Apakah ini sudah berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan ini sudah bertahun-tahun? Rasanya aku hanya berada di atas awan, di dalam pesawat mogok, dan tidak tahu waktu karena aku tidak memakai jam.

"Bimbi yang manis, Bimbi yang merupakan seorang gitaris. Apa kamu masih memainkan gitarmu di depan gang? Bimbi yang puitis, Bimbi yang merupakan seorang gitaris. Apa kamu masih menungguku menghadap ke Selatan?" Aku berharap kamu masih mencintaiku, memainkan gitarmu, dan menungguku di depan gang.


Malang, April-Mei 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi