Tersisa Satu Laki-Laki Saja

 "Bagaimana jika hanya tersisa satu laki-laki saja di dunia ini yaitu kamu dan masih ada banyak perempuan yang tersisa. Apakah kamu akan memilihku diantara perempuan-perempuan itu?"

Aku tertawa kecil membuat dadaku sedikit begetar dan kepalamu yang ada di atasnya sedikit kamu gerakkan, kamu kembalikan ke posisi yang lebih nyaman. Pertanyaan aneh yang selalu kamu ajukan menjelang tidur. Kadang kamu bertanya tentang apakah Bumi itu datar atau bulat? Kamu juga pernah bertanya mengapa burung bisa terbang dan ayam tidak bisa padahal sama-sama memiliki sayap?

Aku membelai lembut rambutmu yang halus. Kita masih sama-sama terdiam. Lalu kamu mendongak sedikit untuk bisa melihat wajahku. "Kamu perlu jawaban?"

"Untuk apa aku bertanya? Itu bukan pertanyaan retoris."

"Tapi itu sangat aneh."

"Itu hanya perumpamaan, pengandaian saja. Jawabanmu yang lebih penting!"

Hening lagi sejenak. Aku mengerti pembicaraan ini akan menjadi lebih serius. Aku merasa terdesak dengan pertanyaan seperti ini. Bagaimana aku dapat menemukan celah ketika aku terpojokkan seperti ini. Kamu jelas masih menunggu jawabanku, kamu memainkan jari-jarimu mengguratkannya di dada hingga perut.

Perlahan jarimu yang kamu mainkan itu mulai melambat, lalu berhenti. Syukurlah kamu sudah tidur. Aku rasa ini keberuntunganku, sebagai seorang laki-laki yang dalam ulang tahun pernikahan yang pertama sudah dihadapkan pertanyaan yang salah-salah bisa bahaya.

***

Aku sendiri tidak tahu jawaban yang pantas untuk pertanyaanmu. Aku juga tidak tahu apakah pertanyaan itu harus dijawab dengan jawaban sejujur-jujurnya, seserius-seriusnya, selugu-lugunya. 

Maka inilah aku, mencoba mencari jawaban dari pertanyaanmu.

Mula aku duduk di tepi danau. Memandang danau yang biru dengan rindangnya pohon hijau. Aku rasa warnanya menyatu antara air danau, pohon-pohon, awan, dan langit. Mereka biru, putih, hijau perpaduan warna yang sempurna, digurat hitam dengan indah oleh burung angsa kepala bergaris yang terbang bermigrasi.

Di tempat yang indah dan damai yang seperti ini, bisa ku rasakan. Dapat ku temukan jawaban dari pertanyaanmu dengan mudah. Aku merindukanmu, sayang. Aku ingin kamu berada disini, menikmati warna danau yang biru kehijauan, memandang langit cerah dengan hiasan awan dan burung angsa kepala bergaris yang terbang bermigrasi.

Lalu tanpa aku sadari aku terbawa burung-burung yang bermigrasi itu. Kamu boleh percaya atau tidak, aku naik salah satu burung itu. Burung-burung itu ternyata tidak benar-benar hitam seperti yang aku liat di tepi danau. Dari dekat ternyata burung-burung angsa itu putih, ada garis hitam diantara matanya, lehernya kecoklatan, dan di ujung sayapnya dihias warna hitam juga.

Kami terbang melewati awan-awan. Sesekali burung-burung itu tidak mengerti kalau mereka membawa aku, dibawanya aku terbang tanpa haluan. Mereka tidak menghindari awan yang ditiup angin, mereka menerobosnya, menabraknya! Rasanya seperti masuk ke dalam kapas yang telah disisir ribuan kali. Lembut selembut-lembutnya. Maka jika suatu ketika kelak anak kalian melihat awan, lalu ingin memegang, dan mengerti rasanya. Jawab saja bahwa awan itu rasanya lembut selembut-lembutnya lembut.

Lepas dari masalah awan yang ternyata lembut. Mereka tidak sadar bahwa ada benda langit lain lagi selain burung, awan, Matahari, Bulan, Bintang. Mereka, burung-burung yang membawaku itu tidak sadar atau mungkin tidak pernah kepikiran kalau ada pesawat! Ya, pesawat! Pesawat nyata yang dinaiki manusia.

Konon, betapa hebohnya seisi pesawat itu menertawakan anak kecil yang sempat melihatku sebelum aku bersembunyi dibalik kepakan sayap burung, mengatakan pada Ibunya, "Ibu, Ibu, aku melihat manusia terbang naik burung, kenapa kita tidak naik burung juga ya, Ibu?"

Seisi pesawat tertawa, penumpang, pramugari, bahkan sampai ke pilotnya. Mereka terpingkal-pingkal mendengar ucapan anak kecil itu. Padahal aku berani bersumpah, apa yang dikatakan anak kecil itu sejujur-jujurnya jujur.

Jauh sudah aku dari pesawat yang tawanya bisa aku dengar dari jarak puluhan kilo. Aku masih berada di atas burung-burung bermigrasi itu. Mereka belum lelah, mereka tidak perlu isi bensin, dan tidak ada rest area di langit. Maka tahu-tahu hari sudah malam. Langit menjadi gelap, Matahari digantikan perannya oleh Bulan dan Bintang-Bintang.

Aduh! Burung sialan!

Mereka tidak bilang kalau aku harus turun. Mereka tiba-tiba saja melakukan gerakan memutar. Aku yang tak punya pegangan sama sekali langsung jatuh dari ketinggian terbang burung itu. "Lain kali, kalau mau turunin bilang-bilang dong!" Bentakku pada burung yang ternyata tak kelihatan sama sekali jika malam tiba. Aku menggosok-gosok pantatku sendiri yang agak nyeri gara-gara burung sialan itu!

Tahu-tahu ternyata aku jatuh di sebuah tempat diskotek!

Sebuah piringan hitam, lampu kelap-kelip memancarkan ribuan warna yang tidak akan pernah bisa aku sebutkan satu-satu, dan musiknya sungguh keras bukan main. Lalu aku mencoba mengernyitkan mataku agar aku bisa melihat dengan sedikit lebih jelas, aku tidak pernah pergi ke tempat seperti ini. Cahayanya yang selalu berganti warna itu, kepalaku dibuat pusing olehnya.

Setelah aku mulai terbiasa dengan cahaya lampu beribu warna itu. Astaga... Tempat itu. Diskotek itu. Penuh dengan perempuan.

Awalnya aku kira perempuan-perempuan itu ada sekitar puluhan.. Ternyata aku salah, aku hitung-hitung dari pelayannya, yang kelihatannya pemiliknya, dan orang-orang yang berjoget di tengah diskotek ini semuanya serba perempuan. Kiranya mungkin perempuan-perempuan itu berjumlah ratusan, ribuan, atau mungkin ratusan ribu sampai jutaan.

Yang jelas, semakin malam rasanya tempat itu semakin bertambah, semakin banyak perempuan. Tidak ada satu laki-laki pun yang datang ke tempat itu. Sampai pada suatu ketika tempat itu menjadi sangat sesak. Tidak ada ruang lagi untuk berjoget. Sesak, sungguh sesak.

Hingga rasanya aku seperti tidak bisa bernapas.

...

(Pembaca yang budiman. Mohon maafkanlah saya. Saya tidak mengerti kelanjutan perjalanan Si Suami yang menyebabkan cerita ini cukup sampai disini. Karena ketika ia melihat aku si penulis cerita ini juga merupakan seorang laki-laki. Aku diusir.)

***

Ternyata hari sudah pagi. Aku tidak mengerti kenapa rasanya aku tidur dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Perasaan yang sesak hingga tidak bisa bernapas.

"Kamu merasa sesak dan tidak bisa bernapas?" Tanya istriku.

Aku membelai rambut istriku dengan halus, mengelus kepalanya yang masih berada di dadaku. Ia mengelak dengan halus juga. Bisa aku rasakan ia tidak nyaman.

"Aku mengerti jawabannya, aku datang di mimpimu!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu

Perempuan dalam Mimpi