Saya Tidak Ingin Hidup Seperti Robot

 Saya merasa telah menjauh dari kehidupan sebagai manusia. Saya merasa tidak nyaman dengan itu.

Tidak ada keindahan dari hidup yang jauh dari kata drama. Saya telah membayangkan sebelumnya hidup yang berjalan dengan tenang tanpa drama. Memang benar tenang, tapi terlalu lempeng dan berubah menjadi tidak nyaman.

Beberapa bulan terakhir, mungkin saya juga sudah menuliskan ini sebelumnya. Saya banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku non fiksi. Asupan pengetahuan banyak masuk ke dalam otak saya.

Tentunya saya merasa lebih baik dari sebelumnya ketika menghabiskan buku-buku non fiksi. Saya merasa beberapa keputusan yang saya buat, analisa yang saya lakukan, dan beberapa pikiran yang saya tuliskan, terus berkembang seiring pengetahuan dan informasi yang saya terima.

Sangat menarik dan tanpa gangguan.

Di situlah letak masalah saya. Tanpa gangguan sama sekali.

Pada masa remaja, saya orang yang terbilang malas untuk mengikuti pelajaran. Saya belum menjadi orang yang merasa bahwa pengetahuan itu penting. Saya kerap abai, karena beberapa distraksi yang lebih menyenangkan.

Bagiamana tidak? Ajakan main bersama teman tentu lebih menyenangkan daripada harus belajar. Keluar bersama pacar atau masih dalam fase gebetan tentu jauh lebih membuat kita bahagia daripada harus mengerjakan PR di rumah. Begitulah bumbu kebahagiaan remaja terjadi.

Saya sudah bukan remaja lagi. Saya menjadi laki-laki dewasa muda. Beberapa keputusan yang saya buat, menjadikan orang yang jauh dari kehidupan drama.

Cukup membahagiakan, tapi ada suatu kekosongan juga yang terjadi.

Saya memang tidak menjadi orang yang gampang gugup atau canggung lagi. Tapi perasaan gugup dan canggung itu sepertinya juga di perlukan. Terlebih lagi, karena sedari kecil saya tidak terbentuk untuk memusuhi seseorang. Lengkap sudah kehidupan saya dengan memperkirakan bahwa, "semua orang itu baik."

Voila!

Saya sering kali menulis dan kesusahan dalam menciptakan karakter antagonis. Hingga saya menggali ke dalam buku atau film atau series yang tokohnya membuat saya sebal. Saya menghidupkan rasa sebal saya dari mereka. Jalan pintasnya, saya mengingat Tottenham!

Jauh dari kehidupan drama itu tidak sepenuhnya baik.

Hal yang dapat saya lakukan untuk menghadapi kekosongan ini sekarang adalah mendengarkan beberapa teman saya yang curhat. Saya akan mendengarkannya dan memberi empati dengan tulus dan berdasarkan perasaan (sebelumnya saya mendengarkan curhatan dan jika diminta merespon, saya meresponnya berdasarkan pikiran saya). Sampai hal paling jauh dari kehidupan saya akhir-akhir ini, saya menonton beberapa film dan series drama.

Saya ingin menjadi menusia yang seperti pada umumnya. Saya merasa hidup saya telah berjalan seperti robot, yang tidak memliki perasaan. Tepatnya saya merasa seperti komputer yang hanya diisi data-data. Tidak ada drama yang membuat saya memakai perasaan saya sebagai manusia.

Padahal, salah satu karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah perasaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apokalips

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu