Rutin Menulis

 Bagaimana cara menahan agar rajin menulis setiap hari?

Saya mengkombinasikan ini dengan buku yang baru saja saya baca "Homo Deus". Kurang lebih dari yang Yuval Noah Harari sampaikan, saya dapat menyimpulkan bahwa kepuasan merupakan hal yang sangat membahayakan. Apalagi untuk terus berkembang. Dalam buku Homo Deus YNH menganalogikan, bagaimana jika seekor tupai merasa puas setelah makan sebutir kacang? elaborasi dari pembahasan tupai itu sangat menarik, dan sebaiknya teman-teman membacanya sendiri.

Dari stimulus itu saya menariknya dalam rutinitas sehari-hari, "menulis."

Bagi saya yang merupakan penulis pemula, sangat sulit untuk menerapkan konsistensi menulis. Salah satu penyebab terbesarnya adalah "kepuasan". Saya rasa, kepuasan menjadi hal yang paling besar melebihi masalah kemalasan.

Kemalasan bisa teratasi dengan membuat jadwal rutinitas, berkomitmen untuk menepati jadwal rutin, dan melakukannya secara berturut-turut hingga kebiasan malas itu hilang. Tapi jika kepuasan? Rasa puas sering kali tidak bisa dilihat secara kasat mata. Beda dengan rasa malas yang kita sendiri atau orang lain bisa melihatnya.

Budi orangnya malas karena tidak mau bekerja. Budi orangnya malas karena tidak mau bangun pagi. Kita bisa membuktikannya bahwa Budi orang yang malas. Tapi bagaimana dengan puas?

Budi telah diterima kerja. Lalu Budi giat bekerja dan pangkat yang ia raih terus menanjak. Hingga suatu saat Budi menempati posisi yang ia idam-idamkan. Lalu Budi merasa puas dengan hal itu. Padahal motivasi dalam dirinya masih tinggi, tapi ketika ia merasa puas dengan kinerja yang sebelumnya terus menanjak tiba-tiba kinerjanya berubah menjadi datar atau bahkan menurun. Tidak akan ada yang bisa memahami kondisi ini selain Budi sendiri.

Apa yang dialami Budi dapat berakibat fatal. Pemilik perusahaannya akan melihat dari kinerjanya yang tidak seimpresif sebelumnya. Ia bisa turun kembali ke jabatan sebelumnya, padahal Budi sendiri tidak merasa melakukan kesalahan. Hanya kepuasan yang mengelabui keimajineran menurunnya kinerja Budi.

Sama halnya dengan menulis, saya sendiri mengalami itu dengan cukup sering. Beruntungnya kepuasan ini saya sadari ketika membaca buku Homo Deus. Saya sering kali merasakan puas ketika berhasil menulis sesuatu. Seletah menulis satu atau dua puisi, lalu saya puas dan membangga-banggakan puisi itu. Setelah menulis cerpen untuk diikutkan lomba dan merasa cerpen saya sangat bagus secara subjektif, saya akan merasa puas dan hanya menunggu hasil pengumuman pemenang cerpen tanpa menulis cerpen lagi.

Saya menemukan masalahnya. Masalah yang bisa dihadapi oleh teman-teman penulis pemula seperti saya. Kepuasan membahayakan konsistensi.

Lalu kesimpulannya, apakah kepuasan itu hal yang salah? Bukankah ada kebahagiaan dalam kepuasan?

Sejauh saat saya menuliskan ini. Saya masih merasakan puas ketika selesai menulis. Namun saya membatasi kepuasan itu.

Setelah menulis selesai, saya puas. Saya merasakan kebahagiaan telah berhasil menulis. Lalu saya membaca tulisan saya lagi, mengeditnya. Setelah proses edit selesai, saya membaca tulisan saya lagi hanya untuk membaca. Tidak lama setelah itu, saya akan membuang rasa puas.

Voila! Saya merasa haus untuk menulis lagi.

Mungkin otak saya tak sebesar kelapa hijau di pinggir pantai. Tapi saya bermimpi, jika isi kepala saya yang tak sebesar kelapa hijau itu dituangkan dalam bentuk tulisan. Bukan tidak mungkin isi kepala saya akan bernasib sama seperti kelapa muda, dapat tersebar ke seluruh Indonesia, bahkan dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apokalips

Jika Saja Tuhan Bertanya

Ujung Hidungmu